Aku membuka pintu rumah, dan saat itu juga kulihat mamaku langsung berjingkat dari duduknya. Ia buru-buru meletakan smartphone-nya di atas meja ruang tamu dan langsung menghampiriku.
"Amelia" ia memelukku sangat erat bahkan kurasakan bahwa mamaku menangis yang dengan begitu cepat langsung menulariku untuk kesekian kali harus berderaian air mata. Kupejamkan mataku, kupeluk mamaku. Aku tau bahwa aku sepertinya rindu momen seperti ini. Tumbuh dan menjadi dewasa seolah memberikan sekat untuk kehangatan bercanda dengan orang tua. Aku lupa kapan terakhir mama menyambutku pulang dengan pelukan, setelah sekian lama ia hanya bisa ku sapa di balik meja kerjanya pada malam hari.
Kini akhirnya momen itu kembali, kurasakan betapa nyaman dan menyenangkannya berada dipelukan seorang ibu. Ketika kau benar-benar berada disana dan mengalaminya sendiri bahwa dunia luar begitu dipenuhi kekacauan kau tak perlu khawatir karna kau punya tempat untuk kau pulang.
"Mama khawatir. Amel gak jawab telfon mama" ujar mama sambil kedua tangannya lalu memangku wajahku yang kuyakin terlihat sangat lusuh.
"Maafin Amel, ma. Amel jarang buka hp hari ini" kataku sambil tersenyum, berusaha menghilangkan tanda-tanda kekhawatiran dari mata mama yang nampak sayu dan lelah.
"Tapi syukurlah kamu baik-baik saja. Papa kamu juga nanyain kamu terus" kata mama masih menatapku tak percaya bahwa anak gadisnya baik-baik saja setelah terpapar berbagai macam berita informasi tentang rusuh dan kacaunya demonstrasi mahasiswa hari ini.
"Kamu habis ini cepetan mandi, biar mama siapin makan terus kamu istirahat" perintah mama yang membuat otakku memutar kisah lama sebagai anak kecil yang begitu ia jaga. Aku kemudian menganggukan kepala dan bersegera menuju ke kamar dan membersihkan diri.
Badanku mungkin lelah, mataku sudah mengirimkan sinyal lemahnya, tapi semua ku tolak karna aku tak ingin cepat-cepat tidur malam ini. Aku masih memikirkan banyak hal; memikirkan tentang gas air mata, tentang pagar roboh, tentang coretan-coretan di tembok, tentang temanku yang terluka, tentang mereka yang tertangkap, tentang gagalnya bertemu ketua DPR, tentang batapa ramainya talk show gerakan mahasiswa di TV yang sedang disiarkan langsung. Aku memikirkan banyak hal sambil menatapi langit-langit kamarku. Memutar ulang fragmen-fragmen peristiwa yang kualami seharian ini. Aku cukup yakin bahwa diriku tak akan membiarkan malam ini ditutup dengan hanya 'langsung tertidur'. Aku ingin ada sesuatu yang lebih dari itu, yang akan menyimpulkan semuanya dengan sempurna. Hari ini terlalu sangat berharga jika hanya berlalu begitu saja, ketika berita dan lini masa sosial media dipenuhi topik-topik seputar mahasiswa, gairah pergerakan, kritik pada pemerintah, dan tim avenger dari kalangan STM.
Aku berguling kesana kemari di atas kasur, tak tenang untuk segera tertidur. Ada yang menggelayuti, sampai smartphoneku bergetar. Papa telfon. Aku langsung bersegera mengangkatnya, tak percaya akan ada panggilannya dilakukan malam hari. Jika sedang dinas diluar kota, papa hanya telfon padaku pagi saja. Kadang tak telfon sama sekali kalau hanya dinas dalam tempo 1-2 hari.
"Halo" suara Papa terdengar berat diseberang sana.
"Halo Pa"
"Belum tidur, Mel?"
"Belum pa"
"Amel baik-baik aja kan?"
"Iya pa, Amelia baik-baik aja. Papa juga baik-baik ajakan disana?"
"Oh iya papa, baik-baik aja," jawab Papa, nada bicaranya berangsur-angsur santai. "Gimana demonya disana?"
"Ya begitulah pa" kataku sekenanya.
"Kok ya begitulah Mel?" Papa terdengar heran sekaligus bingung dengan jawaban abstrakku.
"Amel bingung ngedeskripsikannya gimana"
"Kalau kata papa dulu sih, demonstrasi itu penuh romansa. Banyak hal-hal romantis yang bisa dikenang"
"Emang Papa dulu pernah ikut demo?" tanyaku penasaran sekaligus mengejek.
"Bukan pernah ikut, sering malahan. Paling enggak lima kali, bahkan yang waktu di senayan 98 itupun papa ikut, Mel. Kamu kira bekas jahitan dipelipis kiri papa itu kenapa? Kalau bukan gara-gara bentrokan sama aparat waktu demonstrasi"
"Beneran pa?" aku tak percaya dan kemudian tiba-tiba bangkit dari posisi rebahanku menjadi duduk.
"Kamu tanya mamamu. Berapa kali dia coba halangin papa buat ikutan demo karna takut pacarnya ditangkap" Papa tertawa lepas.
Sebuah guratan senyum tiba-tiba terbentuk dikedua bibirku mendengar ucapan Papa yang sedang berada diseberang pulau sana. Ada rasa kebanggaan sekaligus takjub dalam diriku muncul menjadi satu.
"Kok papa gak pernah cerita sih" kataku memprotes.
"Buat apa papa cerita, papa gak mau anak papa jadi aktivitas karna cuman ikut-ikutan jejak orang tuanya. Papa tuh kepengennya ya kamu jadi aktivis karna memang itu muncul dari diri keinginan kamu sendiri. Tapi bersyukurlah papa. Buktinya, turun jugakan darah aktivisnya ke kamu" Papa kembali tertawa membuatku juga disusupi rasa bahagia.
"Tapi Amelia juga sedih pa. banyak juga berita gak enaknya abis demonstasi. Apalagi kondisi sekarang jadi kacau, kondisinya jadi kayak gak aman" kataku jujur mengatakan keresahanku setelah bertubi-tubi mendapatkan informasi-informasi tidak mengenakan di sosial media.
"Itu tandanya negara kita tidak baik-baik saja, Mel. Kalau memang aman, aksi demo kayak tadi gak bakalan merambat ke daerah-daerah lain. Ini itu akumulasi dari kondisi yang dianggap aman-aman saja tapi sebenarnya malah kebalikannya, hingga puncaknya boleh dikatakan ya hari ini yang nunjukin kalau kondisi negara kita sedang gak baik-baik aja"
Aku mendengar ucapan papa dalam diam sambil mencerna ucapannya dalam otakku. Begitu aktivis, pikirku.
"Untuk sebuah perubahan gak ada yang gratisan, Mel. Apalagi di negera demokrasi, yang jelas ada cacatnya dan ada titik lemahnya. Papa fikir adanya demonstrasi ini adalah salah satu wujud kepedulian rakyat atas nasib bangsa. Terlepas ada yang setuju atau tidak setuju dengan aksi turun ke jalan, tapi itulah salah satu poin di negara demokrasi. Kamu boleh bebas mengekspresikan pendirianmu. Kan memang pada kenyatannya cara orang berjuang untuk perubahan juga banyak caranya, gak cuman demo sambil bakar ban di jalankan? Mereka yang cuman bisa kirimin doa juga sudah berjuang. Cuman mereka mungkin gak kelihatan"
Mataku berkaca-kaca. Rasanya menenangkan mendengarkan papa bicara, seolah-olah aku ini adalah putri kecilnya yang tengah ia dongengi sebelum tidur. Ternyata hanya butuh telfon dari Papa untuk menyimpulkan peristiwa hari ini. Bahwa ditengah kegelapan kamarku, Papa baru saja menerangi, menjadi hawa dingin atas kerasahanku yang digempur berjuta perasaan antara, sedih, bangga, takjub dan takut. Sebuah hari selasa yang penuh cerita untuk dilewatkan begitu saja.
"Amelia juga jangan lupa berdoa" Papa bicara lagi menambahkan.
"Iya pa. Amel bakalan banyakin doa abis ini"
"Ya udah abis ini kamu istirahat. Besok kuliah lagi kan ke kampus"
"Um.. iya sepertinya" kataku malas.
"kewajiban utamamu belajar, Nak. Kalau negara memanggil lagi baru penuhi"
"Oke pa"
Dan setelah kuakhiri panggilan telfon dengan papa, mataku sudah bosan untuk diajak kompromi. Dan dalam hitungan menit aku langsung tertidur diantar berbagai macam doa yang kupanjatkan sebelumnya, berharap semoga negara ini masih akan baik-baik saja, dan manusia-manusia baik itu akan tetap dalam perlindunganNya untuk bisa terus berjuang demi kebaikan bersama. Panjang umur perjuangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suatu Selasa di Bulan September
Teen Fiction[Narasi demonstrasi mahasiswa Reformasi Dikorupsi 24 September 2019] Pergi atau kembali ke kamar dan mengunci diri? Demonstrasi tak pernah berakhir baik-baik saja, kau tau itu Amelia