ENAM

168 10 0
                                    

Aku memikirkan pertanyaan itu yang seharian ini rutin mampir dibawah alam sadarku. Sekarang aku merasa malu bila harus menjawabnya. Seolah-olah aku adalah mahasiswa paling bodoh yang turun didemonstrasi hari ini. Aku berjalan sambil tertunduk lesu. Rasanya konyol ketika polisi sudah bekerja kerasa membubarkan dan kau baru saja tersadar. 

Selagi aku berjalan dengan Irsyad menuju kawasan GBK, pandanganku sekarang mulai menyisir keadaan sekitar. Berharap cerita-cerita lain yang bisa aku bawa pulang sebagai hadiah istimewa setelah seharian dibawah terik matahari. 

Jalanan yang kulalui sudah kondusif, jauh berbeda dengan berpuluh-puluh meter dibelakangku, dimana terlihat asap membumbung dan kobaran api menyala-nyala dibeberapa titik. Irsyad tak banyak bicara selama perjalanan, hanya sesekali sibuk memandangi layar hp-nya. Ia nampaknya paham bahwa aku mungkin bisa jadi menyebalkan kalau sekarang diajak bicara.

"Amelia...Ya Allah Alhamdulillah" suara itu terdengar begitu saja. Sampai ditelinga begitu akrab hingga kutangkap sosok Kiara berjalan mendatangiku dan langsung memelukku. Aku balas memeluknya, jilbab biru mudanya basah menempel kerambut dan pipiku, begitu juga jas almamaternya juga tidak sepenuhnya dalam kondisi kering.

"Kita takut kamu kenapa-kenapa karna gak ada yang liat kamu dari tadi sore" ujarnya sambil melepaskan pelukan. Nadanya benar-benar khawatir, begitu pula raut wajahnya.

Aku tersenyum padanya, rasa bersalah menyeruak dalam dadaku. Di sisi lain jalan, semua teman-temanku duduk disana, beristirahat dan sebagian sedang sibuk dengan gadget mereka, termasuk Felicia. Ada perasaan lega dan bahagia pelan-pelan menggelayutiku, melihat teman-temanku lagi. Aku membayangkan, bagaimana rasanya jika tak ada mahasiswa berjas hitam yang meneriaki dan menolongku, dan Irsyad yang mengajakku berlari, bisa saja aku masih berjibaku lepas dari sarang gas air mata dan bunyi tembakan. Rasanya aku patut bersyukur bahwa aku bisa dikumpulkan lagi dengan orang-orang dari kampusku, yang dari awal tak pernah putus asa meyakinkanku.

"Mbak Amel" teriak seseorang dari arah depanku. Ia berlari kearahku dan dan langsung memeluk.

"Mbak gak apa-apa kan?" tanyanya melepas pelukan dan menatapiku. Sebuah kalimat pertanyaan yang sama seperti yang dia ucapkan tadi siang.

"Gak apa-apa Ran" jawabku sambil tersenyum. "kamu juga gak apa-apa kan?"

Ranti menganggukan kepala. "Syukurlah mbak" wajah Ranti nampak lega sekaligus bahagia mendengar jawabanku. 

Melihat Ranti dan Kiara bisa menghembuskan nafas lega tiba-tiba saja memunculkan rasa kagumku pada mereka. Aku merasa belum bisa berfungsi sebagai orang dewasa yang baik, dengan kenyataan bahwa aku hanya sibuk berkutat memikirkan kemauanku sendiri, tanpa perlu repot-repot mempertanyakan keadaan orang lain. Aku hanya menghabiskan siang hingga sore hariku dengan diteror oleh pikiran-pikiran buruk dan kemarahan, yang melumpuhkan segala macam logika bersikapku sebagai seorang mahasiswa, sebagai korlap lapis kedua, dan sebagai demonstran.

"Gue tinggal sholat dulu ya" ucap Irsyad pamit kepada kami semua yang mungkin melupakan kehadirannya karna sibuk melepas rasa lega.

"Ntar kalau ketemu Ernes bilangin buat kordinasi lagi ya digrup abis ini" ucap Kiara.

"Siap bu sekretaris"

Setelah hampir empat jam tak melakukan kontak dengan smartphone, akhirnya aku kembali menggunakannya. Kubuka sosial mediaku yang seketika lini masanya dipenuhi dengan postingan-postingan seputar aksi mahasiswa hari ini. Di Jakarta, di Bandung, Di Jogja maupun di kota-kota lain. Kupikir ini seperti hujan yang tiba-tiba terjadi, menghilangkan kabut yang terlalu lama menutup ruang berpikirku. Kata 'tersesat' mungkin kata paling pantas disematkan padaku karna kurangnya asupan informasi dan keyakinan akan efek domino demonstrasi hari ini. Bak orchestra, aksi ini bergaung ke seantero negri dan membius berjuta orang untuk bangun dan turut serta.

Lagi-lagi aku menitihkan air mata, rasanya berdosa ketika aku mengatakan bahwa ini semua sia-sia. Aku benar- benar terlalu hiperbola untuk momen demonstrasi yang mungkin tak kudapatkan lagi sensasinya untuk kedua kali. Tadi, aku mengira ini semua adalah hal buruk dan sebuah malapetaka. Melihat kerusakan dimana-mana, pertengkaran dan korban terluka. Tapi kemudian, aku jadi merenungkan kenyataan bahwa ada sebuah harga yang harus dibayar untuk sebuah perubahan. Bisa jadi, tanpa gerakan ini undang-undang itu akan disahkan, bisa jadi generasi penerus yang kelak akan terancam. Lama sekali aku sibuk berselancar di dunia maya, menenggelamkan diri pada berita apapun tentang hari ini, tentang kisah-kisah heroik hari ini, tentang emosi hari ini, dan tentang harapan untuk hari esok.

Sejenak, aku seolah tenggelam dalam romansa demonstrasi kalau memakai istilah Irsyad tadi. Barangkali aku memang terlambat, tapi tak ada salahnya bagiku untuk tetap bersyukur atas segala gejolak hari ini. Kukira pemandang-pemandangan di depanku bisa memberiku pernyataan bahwa kau ikut demo dan kau akan tetap baik-baik saja. Bahwa tak jauh dari hadapanku, seorang mahasiswa berjas almamater coklat gelap bersama dua orang ibu-ibu berpanampilan khas wanita sosialita membagikan nasi kotak kepada para mahasiswa secara cuma-cuma, tak jauh dari situ sebuah lingkaran mahasiswa terbentuk. Mereka semua saling manautkan kedua tangan mereka masing-masing sambil memejamkan mata dan berdoa, dan beberapa meter disebelahnya tiga barisan shaf terbentuk oleh para mahasiswa yang tengah menunaikan sholat maghrib berjamaah ditengah jalan dengan beralaskan jas almamater mereka dan juga spanduk-spanduk yang tadi mereka gunakan berdemo.

Kupejamkan mataku, kubiarkan air mata itu mengalir, melepas cengkraman hasut yang sedari siang tadi benar-benar menyedot habis fikiran positifku. Aku bersyukur bahwa aku bisa menjadi salah satu dari yang hadir diaksi hari ini di depan gedung DPR. Terima kasih matahari yang sedari tadi siang hingga sore menepaku dan membuatku mandi keringat. Terima kasih atas segala macam kekecauan yang membentuk kesolidaritasan. Terima kasih keputusasaan yang membangun keoptimisan. Maafkan Amelia yang angkuh, yang hanya tau diri sendiri tanpa pernah mau peduli pesan-pesan implisit yang ditiupkan dari peristiwa hari ini. 

Suatu Selasa di Bulan SeptemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang