TUJUH

154 8 0
                                    

Setelah berkumpul sebentar di GBK untuk sedikit kordinasi, akhirnya aksi hari ini resmi diakhiri. Aku berjalan keluar kawasan GBK bersama Ranti menuju halte busway terdekat ketika segerombolan anak laki-laki berpakaian STM gerudukan berjalan tak jauh dari samping kami berdua.

"Anjing gimana ini, buku gue basah semua" kata salah satu dari gerombolan itu keras-keras sambil memeriksa tas punggungnya.

"Elu sih goblok udah tau disemprot masih aja maju" sahut seorang temannya yang berada disamping kanan yang berambut cepak.

"Tinggal jemur aja goblok, besok juga udah kering tuh buku kena matahari. Lu mikir kayak gitu kok kayaknya susah amat" satu temannya yang lain dibelakang yang menggenakan jaket hitam ikut menimpali.

"Kalau aja gak takut diperiksa bu Astri, gak peduli nih buku basah semua, orang juga kagak pernah gue baca" kata anak yang masih terus sibuk dengan tasnya yang basah. Dan tak berapa lama mereka kemudian berjalan ke arah lain dan kemudian menyebrang.

Kami mungkin hanya bisa tertawa geli mendengar percakapan anak-anak berseragam SMA yang tiba-tiba saja tadi buat kejutan ditengah aksi demonstrasi mahasiswa. Mereka berlari, datang bak bala bantuan ditengah-tengah pasukan yang sedang morat marit. Tak kenal takut dan mentalitas tak punya lelah khas jiwa muda, mereka jadi cerita lain dalam aksi demonstrasi hari ini.

"Bisa-bisanya ya mbak lebih takut dimarahin guru ketimbang kehilangan nyawa" ucap Ranti gemas sambil geleng-geleng kepala usai mendengar percakapan anak-anak yang masih berseragam putih abu-abu itu.

Aku hanya membalasnya dengan tersenyum. Tapi bagiku itu semua rasanya memang lucu. Tak pernah muncul dalam alam imaginer demonstrasi hari ini akan didatangi para pelajar. Ketika mahasiswa mulai kalang kabut pertahanan karna desakan mundur dari polisi, mereka datang dengan kondisi full battery, ditambah humor-humor yang nyatanya bisa ku bungkus untuk dijadikan pemanis kisah hari ini. Sungguh ironi, ketika mereka bahkan dengan mudah dan tanpa analisa langsung turun saja ikut demonstrasi. Sedangkan aku yang mahasiswa susah sekali mengajukan jawaban atas esensi demonstrasi hari ini. Aku menertawai diriku sendiri dengan getir.

"Besok ngampus kayak biasa ya mbak?" tanya Ranti.

"Sepertinya. Tungguin aja nanti bakal ada rilis info pastinya" jawabku.

Ranti membuang nafas, nampak tak terlalu suka dengan jawaban yang ia dengarkan. "Ternyata demo gak buruk-buruk amat kok ya mbak," kata Ranti sambil terkekeh. "Aku banyak dapet temen baru, cerita-cerita baru dan pengalaman yang juga baru. Kalau kayak gini yang mau ngatain milenial itu manja, instan, dan apatis bakalan jadi mikir dua kali. Orang yang demo hari ini semuanya kayak kesurupan arwah mahasiswa yang demo 98 dulu"

"Bisa jadi" timpalku berusaha membuat suasana percakapan kami tak terlalu tegang. Tapi dalam lubuk hatiku pun aku sungguh setuju dengan ucapan Ranti.

Dan malam hari itu, kunikmati sisa hari dengan duduk menyusuri jalanan dengan busway dan berdiskusi tentang euforia demonstrasi hari ini dengan Ranti. Selamat malam Jakarta. 

Suatu Selasa di Bulan SeptemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang