EMPAT

186 10 0
                                    

 "FOKUS WOY, FOKUS." teriak cowok beralmamater hitam itu kepadaku saat aku terjatuh dan hampir tertabrak oleh kerumunan yang lain dan terinjak.

"BRENGSEK" kataku juga berteriak, kesal mendengar nada bicaranya.

"JANGAN NGELAMUN, BAHAYA!!" katanya lalu buru-buru mengulurkan tangan kanannya padaku.

"TAU MATA PERIH GAK" kataku membalas dengan nada marah dan masih tak menyambut uluran tangannya padaku yang hanya kubalas dengan tatapan marah dan kesal.

"Iya udah, ayo berdiri" katanya sambil berdecak, nadanya sedikit melunak sambil melempar tatapan penuh heran melihatku tak langsung menyambut uluran tangannya.

Nampak tak sabar, cowok berambut landak, dengan odol yang menghias bawah matanya yang hitam legam itu langsung menarik lengan tangan kananku dan memaksaku untuk berdiri. Sementara di kanan kiriku para mahasiswa-mahasiswa sibuk berlari-lari menjauh, sambil berteriak-teriak menyuarakan komando sedangkan diriku masih bergulat dengan amarah dan rasa sakit terjengkak yang masih belum sepenuhnya pergi.

"Itu kelompok lo kan? Sekarang lo lari ke arah mereka, ngerti?" katanya memandangku setelah menunjukkan segerombolan mahasiswi beralmamater sama denganku yang jalan sekitar sepuluh meteran di depanku.

Aku menelan ludah, tak bisa berfikir ketika matamu masih perih, kau baru saja jatuh dan sekarang kau harus segera lari.

"Ayo buruan lari" katanya kini di depan wajahku, bertanya-tanya sekaligus bingung atas diriku yang masih saja belum bereaksi. Ia menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. 

"Hey... hey... stop" cowok berjas almet hitam itu memaksa dua orang mahasiswi berjas almamater hijau muda berhenti berlari. "Lo temenin dia jangan sampai pisah" cowok itu memandangi dua mahasiswi itu dan diriku bergantian, baru saja memberikan instruksi.

"Ayo kak" ucap si mahasiswa berjilbab merah muda tanpa basa-basi dan langsung menggeret tanganku untuk mulai berlari.

Dan aku pun terpaksa ikut berlari bersama dengan dua mahasiswi di kiriku. Dan ditengah ketergesa-gesaan itu kusempatkan menoleh ke belakang dan memperlambat gerak kakiku yang rasanya belum sepenuhnya siap diajak beradu setelah terjatuh. Ku lihat cowok berjas almet hitam itu masih berdiri di posisinya tadi. Pandangan matanya bertemu dengan mataku. Aku menghentikan langkah lariku dan membalikkan badan sepenuhnya dan melepaskan tangan dari mahasiswi disampingku, kulempar pandanganku padanya seraya kugerakan mulutku dengan nada berbisik "makasih" kepadanya.

Ia membalasnya dengan sebuah anggukan dan mengangkat jempol tangan kanannya padaku. Ia melambai-lambikan tangannya setelah itu, seolah-olah mengusirku untuk cepat pergi dan lari menjauh.  Dan saat itu jugalah aku sadar bahwa lagi-lagi aku kehilangan rombongan. Dua mahasiswi tadi sudah berlari jauh di depanku sekitar tujuh langkah. Kini yang kurasakan adalah kebenaran akan buruknya terpisah dari rombongan ketika sekelilingmu adalah kekacauan dan orang yang tidak kau kenal.

Akhirnya kuputuskan untuk terus berjalan, bergerak sejauh mungkin menjauhi titik kekacauan. Berusaha mencoba untuk tetap tenang, meski tak bisa menarik nafas dengan kondisi udara penuh gas air mata. 

Jalan dan cari teman. 

Jangan marah, ingat hal-hal baik, bisikku kedalam otak, walau bunyi tembakan itu masih belum berakhir, teriakan serapah mahasiswa juga tak berhenti, suara pecahan dan pukulan nampak makin menjadi-jadi.

Aku tetap melangkah sembari mengikuti pergerakan matahari yang kian lama makin menyingsing pergi. Langit perlahan berubah tak sepanas tadi, bersiap menyambut senja. Asap itu nampak membumbung di atasku. Menghembus dan menyebar dibawa angin, bersamaan dengan pemandangan korban-korban jatuh, raungan sirine megaphone besahutan dengan bunyi ambulans yang membuat diriku gemetar. 

Semua akan baik-baik saja, kataku berbohong pada diriku sendiri. 

Dan akhirnya air mata itu luruh.

Aku terus berjalan. Semakin ku percepat semakin selaras dengan derai air mata yang menetes begitu saja. Sumpah serapah itu tak jadi keluar, hanya tumpah dengan tangis dalam diam dan kekalutan. Tak peduli lagi jika ada yang melihatku menangis.

"Mel... lari," suara teriakan Irsyad membuyarkan segala macam istana kemarahanku yang sedari tadi menarikku lepas dengan kondisi sekitar. Ia langsung menghentikan larinya yang berada tiga langkah di depanku dan balik datang menghampiriku.

Aku buru-buru menghapus air mataku. Kuusapkan kedua telapak tanganku untuk menghilangkan jejak-jejak deraian itu dipipi. Ia lalu berdiri di hadapanku. Aku balik memandangi Irsyad. Ikat putih itu masih terpasang mengelilingi dahinya hingga kebelakang kepala. Rambutnya tak lagi keriting karna basah , begitupula kaca matanya yang dihiasi cipratan-cipratan air. Raut kelelahan sekiligus panik terlihat dijelas di wajahnya yang berhasil menghapus jejak-jejak segala macam cerita keberhasilan skincare yang membuat wajahnya nampak lebih cerah tiga minggu lalu.

"Lo enggak apa-apa kan, Mel?" tanyanya jelas dengan nada khawatir.

Aku menganggukan kepala, menjawab pertanyaan Irsyad. Tak kuasa untuk membuka mulut dan berbicara.

"Yaudah ayo! Kita harus pergi dari sini" ia langsung menarik lengan tangan kiriku dan mengajakku berlari. Semakin kencang dan semakin kencang sampai membuat perutku terasa mual. Aku mulai kelelahan, ketika Irsyad sama sekali tak memperlambat laju larinya. Sementara badanku sesekali tertenggor oleh mahasiswa-mahasiswa lain yang juga kalang kabut menjauhkan diri dari jangkauan semprotan mobil water canon dan kepungan asap dari gas air mata yang dilempar petugas untuk mendesak keberadaan mahasiswa untuk menjauhi gedung DPR. Mataku mulai terasa kembali perih dan asap itu mulai memaksa lagi masuk untuk dihirup. Sementara aku dan Irsyad terus-terusan tak henti berlari untuk segera pergi dari jalanan.

Aku lelah, dan air mata itu kembali. Lancang untuk tiba-tiba jatuh ke pipi ditengah-tengah usahaku untuk mampu menyeimbangi langkah lari Irsyad. Nyaris sepuluh menit kami tunggang langgang menyelematkan diri menjauh dari titik pusat demonstrasi. Dadaku rasanya sesak, dipenuhi rasa muak dan amarah. Ingin berteriak dan mencaci, ketika kurasakan genggam tangan itu mulai melonggar dan pelan-pelan lepas dari tanganku.

"Udah aman kayaknya disini... ah syukurlah" disaat kudengar kalimat itu meluncur dari mulut Irsyad disaat itulah kesadaranku kembali. Lagi-lagi sibuk bergumul dengan dunia imaji sendiri, lupa pada kenyataan, hanyut pada ilusi yang membelenggu dan berhasil menarikku dari kenyataan yang tengah terjadi.

Wajah Irsyad nampak lega sekaligus lelah sembari mengatur nafas tapi buru-buru berubah setelah matanya kembali menangkap basah mataku.

"Lo gak apa-apa kan Mel?" tanyanya dengan nada khawatir sambil mengamati wajahku. "Lo nangis apa perih?"

Dadaku sesak, rasanya ingin meledak. Jeritan-jeritan kemarahan sekaligus lelah ingin segera diluapkan begitu saja. Aku tak bisa berkata-kata meskipun Irsyad nampak jelas sekali menunggu jawabanku.

"Amelia?" panggil Irsyad, sadar bahwa fikiranku tengah mengembara kemana-mana. Aku buru-buru balik memandangnya. Dan seketika itu juga aku akhirnya benar-benar bisa menyadari kondisi sekitarku. Para mahasiswa berkerumun, duduk di bahu-bahu jalan, sementara di arah lain, banyak juga yang baru sampai setelah berlari-lari dengan kondisi jas almamater basah kuyup, maupun terpejam menahan perih asap gas air mata.

"Mel?" panggil Irsyad sekali lagi, menatapku di depan mata sambil mengesekkan ibu jarinya dengan jari tengahnya hingga berbunyi.

Bola mataku bertatapan langsung dengan bola mata Irsyad di balik kaca matanya yang tertutupi cipratan-cipratan air. Dan saat ini aku kembali menitihkan air mata. "Lo ngerti? Ini semua sia-sia" kataku berat hingga membuatku menelan ludah sendiri setelah mengucapkan kalimat itu.

Suatu Selasa di Bulan SeptemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang