Tak ada angin segar berhembus, matahari kian menyingsing ke barat, suasana juga makin terasa buatku resah. Ada perpaduan antara kelelahan dan juga ego untuk tetap berjuang bagi mereka yang tetap setia berdiri depan pagar gedung DPR RI. Aku masih tenggelam dalam akal fikiranku. Bertanya-tanya tentang apa peranku disini. Aku terus berusaha menenangkan diri, mengumpulkan fikiran-fikiran baikku untuk bisa mengubur segala macam kegelisahan dan kemarahanku yang kutakut sewaktu-waktu bisa saja meledak. Aku tak boleh dibelenggu lama-lama dengan keindividualismeku sendiri. Aku sungguh salah bila menumpahkan keegoisanku di sini hanya karna aku introvert. Aku tidak kepanasan sendirian, tak juga berdiri terus menerus sendirian. Aku bukan manusia paling sengsara di dunia ini.
Kebisingan ini adalah hal yang normal. Teman-temanku yang lain masih semangat mengangkat-angkat poster mereka, berteriak menyahuti orasi, atau sekedar melirik sana sini untuk mencari seseorang yang punya potensi layaknya ujaran Irsyad, aku menemukan semua pemandangan itu. Aku masih terus-terusan berkeringat ditengah-tengah massa yang samakin berjejal. Berusaha mengatur nafas dan meredam kekalutan ketika kulihat tiga orang mahasiswa itu masing-masing membawa karung putih lalu memunguti sampah sambil bertegur sapa dengan kawan-kawannya yang berbeda kampus itu.
Bukankah itu sebuah hal yang mulia?
Sebagian rasa amarah dan kesalku sejenak luluh melihat pemandangan itu. Barangkali saat ini aku tengah diketuk pintu hatinya. Lewat niat-niat baik para mahasiswa-mahasiswa itu yang masih bisa berfikir untuk menyelamatkan lingkungan ditengah kepungan massa yang mungkin tak lagi peduli mau buang sampah dimana. Melihat tiga orang itu, nyatanya mampu memberikan setrum bagi mahasiswa lain untuk tergerak membantu melakukan hal yang sama meskipun fikiran buruk kembali muncul dalam benakku untuk beradu;
Mau ditaruh mana sampah-sampah itu?
Sampah dari manusia-manusia disini terlampau banyak untuk dibersihkan dengan bermodalkan tiga karung putih bekas beras. Jalan ini akan tetap kotor selama aksi ini tetap berjalan.
Sungguh, aku ingin mengutuki diriku sendiri. Mendapati upayaku untuk bersimpati selalu saja muncul sesuatu yang menghalangi. Serangkaian usaha kulakukan untuk memerangi kecurigaan-kecurigaan yang terus menerus mampir dalam fikiranku, sementara Felicia mulai kembali menghampiri kawan-kawanku yang lain, tengah memastikan semua lengkap dan aman.
"Baris-baris, kita bikin border" katanya memeriksa dan mulai menata barisan.
Meski enggan akhirnya aku mengikuti instruksinya untuk berbaris. Tak ada opsi lebih baik daripada mengikuti komando Felicia sebagai korlap utama bersama Kiara.
"Mel, depan sini" ujarnya memintaku maju untuk berbaris dihadapan tempat ia berdiri.
Aku hanya diam sambil menurutinya.
"Pake odolnya sekarang"
Aku tak menyangkal pun tak bicara apapun ketika ia menyuruh. Suasana hati buruk membuatku mengambil keputusan diam sebagai jalan terbaik daripada salah ambil sikap.
Setelah mengoleskan odol di samping dan bawah kelopak mata, ku kenakan masker dan memastikan tas ranselku sudah berada diposisi yang benar.
"Kuatin border-nya. Odol pake semua" teriak Kiara sambil berjalan, memeriksa. Ia kemudian berhenti di hadapanku sesaat ia menangkap kehadiranku.
Aku balas menatapnya yang telah memandangiku. Peluh keringatnya sudah bercucuran diwajahnya makin banyak dari yang tadi-tadi. Jilbabnya juga tak lagi rapi, tapi api perjuangan itu jelas nampak berkilat dimata coklat yang pada hari-hari biasa meneduhkan setiap aku melihatnya. Kiara tiba-tiba mengikatkan sebuah pita hitam di lengan tangan kananku.
"Yang ikhlas ya Mel. Kita bisa lakuin ini" katanya tersenyum padaku setelah kulihat sematan pita hitam itu sudah terikat rapi. "Bantuin jaga yang lain ok"
Hatiku tergetar, mendengar ucapan Kiara yang seolah membaca kekalutanku. Rasa panasnya batinku seolah baru saja diguyur air hujan yang mendinginkan. Egoku perlahan mulai runtuh hanya dengan kalimat sependek itu. Kuikuti jejak Kiara mondar-mandir mengkomando teman-teman perempuanku yang kini makin merapat dan saling memegang erat untuk membut border, aku semakin yakin bahwa ia memang sosok yang tak biasa.
Aku belum pernah ikut demonstrasi di jalan sepanjang hidupku selain ini. Jujur saja meski kurasakan diriku sedikit menenang semenjak mendengar ucapan Kiara tapi rasa was-was itu kian meningkat. Apalagi dengan hilir mudiknya korlap-korlap penting lain seperti Niar, Oki dan Juno. Kegaduhan juga mulai nampak di depan mataku. Posisiku sekarang tak lagi sedekat waktu pertama kali aku tiba disini. Semakin bergeser dan terus bergeser menjauhi titik pusat demonstrasi yang tadi berada tepat di depan pagar utama gedung DPR.
Kini border itu kian panjang dan rapat. Kampus-kampus lain juga mulai menerapkan hal yang sama. Saling bertautan, tak lagi peduli dengan warna almamater. Kini panas matahari yang kian menyising tak lagi genting ketika dorongan untuk terus bergerak itu makin memaksa. Semakin membakar dan membuat keringat makin berucucuran, hingga suara-suara itu mulai memecah ditengah-tengah keramaian.
"Jalan sekarang woy! Terus-terus! polisinya udah pakai water canon," kulihat Oki berteriak menginstruksikan pada Kiara dan Felicia. "yang cewek buruan jalan, inget dengerin komandonya Juno. Jangan nekad"
Kami semua harus melangkah, buru-buru dan semakin bergerak menjauh dari titik kami berkumpul. Aku gelisah. Ketakutanku tadi pagi yang kucoba buang jauh-jauh nyatanya benar-benar terjadi. Bahwa demonstrasi hari ini bukanlah dongeng fantasi, ini pasti berakhir anarki. Bahwa dengungan orasi itu bisa jadi cuman sambatan emosi pribadi, meluapkan keinginan sendiri dan dendam yang belum terobati dan lupa kalau mereka bawa aspirasi yang belum tentu akan terpenuhi.
"Key... suruh cepetan. Gerak terus-terus" kudengar suara teriakan Juno di belakang sana, memerintah Kiara yang berdiri entah dimana untuk memastikan bahwa kami semua akan terus menjauh.
Dan disaat itulah kudengar suara tembakan itu untuk pertama kali.
Aku seketika panik.
Kondisi berubah jadi kekacauan. Jujur aku gemetar dan kepalaku berputar. Barisan kami tak lagi utuh, terputus-putus oleh gerakan makin sporadis. Terbelah-belah untuk memberi ruang untuk mereka yang terburu-buru menggotong seseorang untuk diobati. Asap-asap itu mulai membumbung diudara, menghilangkan kerjernihan ketika kuberanikan diri untuk menoleh ke belakang.
Aku dan barisanku terus berjalan, beberapa anak nampak mencoba menenangkan ditengah suasana berdesakan dan berhimpitan. Satu per satu mulai menutupi wajah mereka dengan kain, tisu dan tangan mereka. Mencoba menyembunyikan wajah dari sebaran asap yang kian terasa. Aroma gas air mata itu mulai menyebar, merangsek tanpa perlu permisi untuk masuk kedalam paru-paruku. Kudengar banyak sekali sumpah serapah keluar dari mulut-mulut mahasiswa. Emosi dan perasaan menahan perih semakin menjadi dari ujaran-ujaran kekesalan manusia-manusia beralmamater yang kini mulai kalang kabut. Sambil terus menutupi mataku dengan telapak tangan kiriku yang mulai terasa sedikit perih, kemarahan, kekesalan dan aura pemberontakkan beringas mulai dapat kutangkap dari wajah-wajah mereka yang lelah dan nampak merah padam. Tak sedikit dari mahasiswa-mahasiswa itu malah yang berlari berlawanan dengan arah gerakku yang semakin menjauhi titik pusat demonstrasi.
Aku terus berjalan, sibuk melindungi mataku dengan satu tangan dari jahatnya asap gas air mata, sementara tangan lainnya tetap berusaha menjaga genggaman dengan kawan kampusku. Hingga kudapati pemandangan bahwa Felicia tengah dipapah oleh seorang mahasiswa dan Kiara ada disampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suatu Selasa di Bulan September
Fiksi Remaja[Narasi demonstrasi mahasiswa Reformasi Dikorupsi 24 September 2019] Pergi atau kembali ke kamar dan mengunci diri? Demonstrasi tak pernah berakhir baik-baik saja, kau tau itu Amelia