Kukira bukan hanya aku saja merasakan euforia.
Dunia kampus tak lagi sama seperti beberapa minggu sebelumnya. Diskusi-diskusi itu kembali hidup setelah sekian waktu seperti barang tak laku. Jiwa-jiwa muda terpanggil untuk gandrung akan politik. Peduli akan kondisi negri dengan mengikuti berita terkini. Demonstrasi yang berhasil untuk menyulut sekaligus memecut mereka yang dikata pengecut. Perjalanan panjang aksi yang dimulai sedari tanggal 19, 23 dan 24 berbuntut panjang. Ini semua bak bola salju yang terus menggelinding.
Isu tujuh tuntutan tak kunjung selesai, situasi negara makin diambang, kehidupan terus berjalan ditengah ketidakpastian. Lini masa sosial media bergemuruh untuk menggaungkan aksi mahasiswa dan siswa STM bak superhero. Ketidakpercayaan publik semakin menjadi-jadi ketika para penggiat aksi tiba-tiba dijemput paksa. Bak kembali menyemai sesuatu yang dulu pernah ada, sinyal-sinyal itu kembali dikirim dan memaksa untuk tidak hanya diam. Aksi-aksi lain turut berdatangan, menantang hari-hari yang dirasa tak kian cerah. Demokrasi terancam, aroma orba kian kencang, dan mahasiswa makin tak tinggal diam walau dihantui ancaman dari para manusia pembuat kebijakan di tampuk tertinggi dunia pendidikan. Hadir figur-figur itu, para perwakilan presiden-presiden mahasiswa yang saat-saat ini menjadi bahan perbincangan. Menarik banyak perhatian lebih-lebih mereka yang perempuan. Banyak mahasiswi lagi gandrung nonton berita demi mengabadikan momen idola baru mereka berdiskusi dengan para pejabat negri.
Tak ada masalah bagiku, tapi kuharap mereka tak kecewa. Kadang ketika kau suka sesuatu ada saja yang berusaha menemukan celah hingga kadang buatmu tak lagi percaya ketika kau menemukan sesuatu yang tak kau suka darinya. Tapi pada intinya, kuharap ini semua tetap pada substansi, mereka adalah representatif mahasiswa-mahasiswa seluruh negri ini. Yang diberi kesempatan untuk bisa melangkah lebih jauh untuk bantu selesaikan masalah kekacauan negri ini. Dan ya kuharap mereka tetap bisa bergerak lagi setelah aksi ini, bukan berhenti disini.
"Mel, udah gak apa-apa kan?" tanya Irsyad tiba-tiba berdiri disampingku yang tengah membaca beberapa artikel politik di papan mading yang sedari tadi menjadi bahan bakarku untuk berfikir.
Aku menganggukan kepala, "Makasih banyak ya Syad. Aku gak tau gimana kalau gak ada kamu" kataku jujur.
"Itu manusiawi, Mel. Gak ada manusia yang hidupnya gak ada gejolak. Itu gunanya punya temen. Saling ngingetin" ujarnya sambil tertawa. Wajahnya nampak sedikit menghitam, semenjak ia turun aksi kemarin. "Ntar malem ikutkan?"
"Ya" kataku sambil menganggukan kepala.
"Gue gak tau siap atau enggak" katanya sambil bersandar ke tembok dan menghela nafas.
***
Matahari mulai menyising. Malam yang syahdu, dengan jejak-jejak senja yang belum sepenuhnya pergi. aku duduk menempati ruang yang kosong di taman ini yang berbentuk lingkaran. Tak lama kemudian seseorang mengisi tempat di sampingku.
"Elna" sapaku padanya.
Ia menoleh padaku. "Hi Mel" katanya lemas.
Elna terlihat tidak baik, matanya bengkak, raut wajahnya sendu dan tubuhnya terlihat tak bersemangat. Begitu kontras disetiap momen ketika ia ikut dalam rapat BEM, begitu semangat dan menggebu-gebu tiap memberi komentar.
"Gue gak kenal mereka, Mel. Tapi gue gak bisa berhenti nangis tiap ada berita tentang mereka." Ucap Elna tiba-tiba membuka ruang bicara, nadanya nyaris bergetar. "Enam belas tahun aku tinggal di Kendari, temanku banyak disana. Mereka semua berduka, begitupun juga aku. Aku adalah saudara setanah air mereka, aku ngerasain hancurnya hati ayah Randy atau kehilangannya teman-teman Yusuf. Apakah kita semua berdosa hingga kita harus kehilangan nyawa-nyawa manusia demi ini semua?" ia menoleh kepadaku sambil berlinangan air mata yang membuatku merinding dan hatiku berdesir.
"Mereka gugur sebagai pahlawan, El. Mereka adalah orang-orang baik, dan akan selalu dikenang sebagai pejuang keadilan. Kau disini adalah wakil mereka...- yang bisa berada paling dekat dengan pemerintahan pusat" kataku berusaha kuat dan tegar meski aku tau aku sendiri bersusah payah untuk menahan air itu tumpah dari kelopak mataku.
"Dan abis ini aku bakalan nangis lagi" katanya nampak menelan ludah.
Dan semua dimulai. Kami semua berdiri melingkar. Dengan bunga mawar ditengah-tengah kita semua, dan sebatang lilin ditangan kita masing-masing. Langit seolah bersedih, tenang namun terasa menyakitkan dengan remang cahaya lilin. Lantunan lagu gugur bunga dinyanyikan penuh perasaan keteririsan. Hatiku merinding hebat, perutku bergejolak, dadaku sesak, air mataku jatuh bercucuran bersamaan dengan tangis dari mereka yang lain melepas kepergian pahlawan demokrasi itu.
Tapi tidak, mereka tidak pergi.
Mereka masih hidup bersama perjuangan-perjuangan yang terus akan datang. Bahwa api perlawanan itu tak akan padam, dan mungkin akan lebih berkobar. Semangat mereka hingga jatuh di medan peran adalah bukti kecintaan mereka akan kebenaran. Bisa jadi Indonesia kehilangan putra-putra terbaiknya demi sebuah kebaikan bersama. Bahwa kita semua kehilangan. Dan kita semua merasakan kedukaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suatu Selasa di Bulan September
Teen Fiction[Narasi demonstrasi mahasiswa Reformasi Dikorupsi 24 September 2019] Pergi atau kembali ke kamar dan mengunci diri? Demonstrasi tak pernah berakhir baik-baik saja, kau tau itu Amelia