F┆For Three Days

1.8K 208 62
                                    

Di desa kami, setiap orang yang meninggal, arwahnya akan bergentayangan selama tiga hari dimulai pada hari pemakamannya. Dan hanya bisa dilihat oleh orang yang dipikirkan si arwah sebelum mati.

Berita kematian siswa teladan bernama Oh Sehun jelas menjadi momok yang mengejutkan bagi seisi sekolah. Ah, tidak. Bahkan hampir seluruh desa. Semuanya heboh, gencar memberitahu ke sana-sini. Seolah-olah angin pun ikut memberitakan informasi yang membuat kedua iris melebar tak percaya itu.

"Padahal anaknya baik. Sudah begitu, pintar dan tampan pula."

"Meninggal karena apa, sih?"

"Tidak tahu. Tapi katanya tidak wajar."

Irene mendengkus bosan mendengar orang-orang di desa berbicara soal hal yang sama sejak tadi pagi. Seputar kematian, Oh Sehun, teman sekelasnya.

Yah, bukannya Irene tidak iba atau sedih, hanya saja, kenapa orang harus berisik membicarakan si Sehun yang sudah tiada? Biarkan saja pemuda itu beristirahat dengan tenang.

Dan hal yang paling lucu dan konyol-ugh, Irene bahkan benar-benar tak habis pikir dengan ini-kegiatan belajar-mengajar di sekolah mereka dihentikan.

Oke. Irene tahu kalau Sehun itu memang si jenius sekolah yang bisa membuat gadis mana pun menjerit-jerit-kecuali dia, barangkali-dan kaum adam menekuk wajah karena iri. Dia tampan dan rendah hati. Punya wajah yang khas dengan rahang tegas mendominasi. Kalau tersenyum manis sekali dan matanya akan membentuk bulan sabit. Dia juga ramah. Wah, pokoknya idaman sekali.

Tapi itu bukan berarti sekolah jadi mendadak libur karena laki-laki berprestasi itu kan? Meski menguntungkan, sih, Irene bisa sedikit santai hari ini. Ah, labil sekali, dia ini.

"Padahal kata Jongin, semalam dia bahkan masih bermain bersama Sehun," suara Seulgi tiba-tiba terdengar. Sejak tadi mereka hanya diam dan mendengarkan orang-orang desa yang membicarakan Oh Sehun.

Irene melirik Seulgi. "Umur siapa yang tahu," komentar Irene sederhana.

Irene tidak terlalu akrab dengan Sehun. Padahal mereka sekelas selama tiga tahun. Bukan karena tidak suka, tapi ada sesuatu yang pernah terjadi sehingga membuat mereka canggung. Sudah lama sekali. Kalau Irene tidak salah ingat, itu terjadi sewaktu kelas sepuluh.

"Hei, Irene. Menurutmu, siapa yang akan melihat arwahnya selama tiga hari?" tanya Seulgi tiba-tiba. Irene hanya bisa menjawab dengan gelengan kepala. Yah, memang dia tidak tahu.

Bagaimana cara gerigi otaknya mengetahui siapa orang yang terakhir kali Sehun pikirkan sebelum pemuda itu meninggal? Itu rahasia yang penuh misteri. Yang pasti, bukan dirinya.

Seulgi mendadak mendongak, menatap langit yang nampak begitu cerah. Berbeda dengan suasana yang tengah melingkupi desa mereka. "Semua orang bilang Sehun meninggal dengan tidak wajar. Maksudnya dia dibunuh? Begitu, ya?" kembali Seulgi bertanya mengenai sesuatu yang hanya bisa Irene jawab dengan gelengan kepala, lagi.

Memang sejak tadi, semua orang mengumbar bahwa Sehun meninggal dengan cara tidak biasa. Entah apa maksudnya. Makanya Irene cuma bisa menggeleng kepala.

Gadis bermarga Kang itu lantas mendesis kehabisan akal. "Kau asyik geleng-geleng kepala saja. Memangnya kau tidak kasihan, ya pada Sehun?"

"Lagian aku harus menjawab apa? Toh, aku memang tidak tahu," balas Irene sedikit sebal. Nyatanya dia memang tidak tahu apa-apa. Kasihan tentu saja kasihan. Tapi takdir jelas tidak bisa diubah, bukan?

"Di antara semua anak kelas juga, hanya kau yang tidak menangis," kata Seulgi menambahi tudingan anehnya pada Irene.

Irene menghela napas kasar. "Ya, aku memang tidak mau menangis saja. Apa aku harus menangis sampai air mataku kering?"

AftoíTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang