"IRENE BANGUN! KAMU TUH YA, DIBIARIN MALAH MENJADI-JADI!"
Gebrakan di pintu dan teriakan yang mengandung sedikit emosi itu membuat Irene berdeham pelan.
"KAMU ITU LAMA-LAMA KAYA SAMPAH MASYARAKAT!"
Ditambah lagi satu kalimat seruan yang dikeluhkan pada Irene dengan nada tinggi. Hati dan pendengaran Irene sudah kebal. Hinaan seperti itu keluar dari mulut sang ibu bukan perkara sekali dua kali. Irene hampir mendengarnya tiap hari.
"Anak gadis macam apa yang bangun pas matahari udah di atas kepala," cibir wanita berambut sebahu itu lagi.
Irene menghela napas pelan sembari menyibak selimut. Berdoa terlebih dahulu sebelum menurunkan kaki dari atas kasur.
Setelah sang ibu pergi dengan segala sindiran sarkas yang beliau punya, Irene bergerak mengambil handuk dan lekas mandi.
Sudah hampir setengah tahun kegiatan Irene hanya berputar-putar pada hal yang sama. Tidur dini hari, bangun siang, mandi, membantu ibunya membuat kue, lalu berakhir seperti sepotong daging busuk yang tak berguna. Berbaring atau merebahkan tubuh bagaikan manusia sakit jiwa.
Setiap hari di rumah, bermain ponsel, menonton drama, menonton video aneh-aneh, menari-nari tidak jelas saat rumah kosong, hingga tidur sampai senja berkumandang.
Irene jenuh. Sangat. Ia ingin pergi ke suatu tempat, menghabiskan waktu di sana lalu pindah ke tempat lainnya. Tapi ia tahu ia tak pantas mengeluh. Kondisi finansial keluarganya bukan seperti keluarga Baekhyun, tetangga depan rumahnya yang kaya raya. Kalau kata Irene, tidak akan habis meski sampai keturunan kesembilan.
Di saat teman-temannya sudah terjebak bersama tugas-tugas kuliah yang bercokol di kepala setiap harinya, Irene masih tertinggal di tempat yang sama.
Sudah nyaris setengah tahun pula Irene menghindar dari keramaian. Jadi anak yang irit bicara (padahal dulunya kelewat hiperaktif), lebih suka berdiam diri, tertutup, dan sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Irene, kuliah di mana?"
"Nganggur, Tante."
"Loh? Orang pintar juga bisa berakhir nganggur, ya?"
"Hehe.. belum rezeki, Tante."
Irene amat bosan. Percakapan semacam itu kerap terjadi di dalam hari-harinya. Kadang Irene bingung sekaligus kesal, memangnya orang pintar atau sebut saja orang yang nilainya selalu bagus tidak pantas buat gagal? Memangnya kalau gap a year hidup akan berhenti?
Awalnya, Irene berpikir begitu. Berpikir bahwa kelak segala sesuatunya pasti akan baik-baik saja. Garis takdir sudah ditentukan dan Irene yakin, hidupnya sudah diatur sedemikian rupa oleh Tuhan.
Tapi belakangan ini, semua seolah musnah. Irene tidak percaya diri lagi. Ia merasa hidupnya benar-benar tertinggal daripada yang lain. Jika hendak belajar, Irene malah berakhir termangu. Memandang kosong kumpulan rumus ala anak IPA yang tiga tahun menjejali kepalanya.
Terlebih lagi, sudah seminggu ini sang ayah memaksanya mengikuti tes yang amat dia tidak suka. Bukan Irene berkehendak untuk menjadi anak durhaka, hanya saja, dia tak suka dipaksa. Kenapa dia harus melakukan hal yang akan menyiksanya sepanjang hidup hanya demi sebuah pekerjaan dan materi?
"Kamu mandi atau ngapain sih, Rene?! Cepat! Bantuin Mama sini!"
Irene menghela napas pendek. Dengan rambut yang basah ia keluar dari kamar mandi. Mendapati sosok ibu dengan perangai kesal tengah mengaduk adonan kue.
"Iya, Ma. Bentar."
Irene berkata pelan. Dijemurnya handuk yang ia kenakan di jemuran kecil yang ada di dalam rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aftoí
FanfictionAftoí means they in Greek. Because all of these stories are about them, Oh Sehun and Bae Irene. Special for all purlskys out there. Sehun and Irene oneshot collection. ©2O19 | rekata