"Pak."
"Hm?"
"Bapak ada meeting lima belas menit lagi di Kim Corp."
"Kenapa tidak bilang dari tadi?"
Suara tegas nan tajam menusuk itu membuat Irene refleks memeluk tab di tangannya.
"Saya sudah berdiri di sini selama setengah jam dan sudah memanggil Bapak sebanyak tiga puluh kali, Pak." Irene menjawab dengan suara pelan namun dengan kalimat yang jelas.
"Saya tidak mau tahu. Kalau kerja sama dengan Kim Corp gagal, kamu yang saya salahkan." Sehun, atasan Irene yang luar biasa menjengkelkan sekaligus presdir dari Oh Corp, menatap sekretarisnya itu tajam.
Jika wajah sekretaris pada umumnya akan pias setelah mendengar ancaman seperti itu, Irene justru tersenyum cerah. "Bapak mau memecat saya?"
Sehun yang menumpuk kertas-kertas yang sudah selesai ia berikan tanda tangan itu lantas melirik sinis sekretarisnya itu. "Kamu pikir memecat orang segampang itu?"
Irene menghela napas sedih. Padahal sudah amat senang jika sungguh-sungguh dipecat hari ini. Itu berarti dia bebas. Bebas dari manusia berjenis kelamin laki-laki bernama Oh Sehun yang mempunyai sikap seperti kanebo kering dan mulut setajam pisau cukur.
Irene sudah memberikan surat resign berkali-kali, tapi Sehun tidak mengizinkannya. Dengan alasan malas mencari sekretaris baru meski sekretaris yang sekarang (Irene sendiri) kerjanya tidak becus.
"Jangan buang-buang waktu lagi, cepat siapkan mobil. Kamu ini tidak pernah becus jadi sekretaris!"
Irene mendesis pelan. Makanya pecat aja gue! Batin Irene menjerit sebal. Lantas tangannya menekan nomor ponsel supir pribadi Sehun di ponsel dan segera meminta agar segera mempersiapkan kendaraan.
Saat mereka sudah berada di dalam lift, suasana benar-benar hening. Irene tidak mau bicara, apalagi Sehun. Laki-laki dengan setelan jas berwarna abu-abu muda itu hanya memasang tampang angkuh dan tak acuh miliknya.
"Tumben."
Irene mendongak, menatap Sehun yang mendadak memulai konversasi. "Apa yang tumben, Pak?" tanya Irene tak mengerti.
Sehun berdeham pelan. "Tumben kamu gak nanya saya sudah makan apa belum," kata Sehun kemudian.
Irene mendesah pelan, lalu menarik pandangannya dari wajah sempurna Sehun. "Satu jam yang lalu saya sudah tanya, Pak. Tapi Bapak jawab, Bapak gak selera makan."
"Oh, gitu."
Irene memasang ekspresi kecut. Mendadak bosan karena menuju lantai dasar masih akan memakan waktu beberapa menit lagi, Irene lantas bermain ponsel. Masa bodoh dengan Sehun yang akan menegurnya, toh Irene sudah sangat ingin berhenti dari pekerjaan yang menyiksa batin dan fisik ini.
Irene membuka salah satu sosial medianya, melihat-lihat foto-foto yang memenuhi layar ponselnya. Tak lupa juga memberi beberapa like kepada foto-foto tersebut.
"Itu siapa?"
"Lucinta Luna," jawab Irene cuek pada Sehun. Padahal, bukan itu jawaban yang sesungguhnya. Dia heran sekali pada Sehun satu hari ini. Laki-laki itu mendadak banyak bicara. Irene lebih suka kalau Sehun diam seperti patung.
"Kamu pikir saya buta? Begini-begini saya juga kenal Lucinta Luna."
Irene menatap Sehun jengkel. "Kalau Bapak tahu kenapa bertanya?"
Sehun mencibir Irene lewat tatapan mata. "Saya tanya pria yang kamu like fotonya tadi, Irene," kata Sehun dingin.
"Oh, itu foto Pak Chanyeol, Pak." Irene menjawab dengan sabar kemudian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aftoí
FanfictionAftoí means they in Greek. Because all of these stories are about them, Oh Sehun and Bae Irene. Special for all purlskys out there. Sehun and Irene oneshot collection. ©2O19 | rekata