L┆Lakon Panasea

809 144 31
                                    

a/n: mulai dari bagian konversasi kemarin, aftoi akan diisi sama judul indo gini, hehe. puas-puasin baca ya, guys, wdk about future, right?

* * *

PANASEA

(n.) remedi bagi semua penyakit atau kesulitan; obat (mujarab).

Bias cahaya berwarna jingga serupa warna kulit jeruk matang itu menyusup masuk lewat jendela kamar Sehun. Menebar kehangatan di ruangan bercahaya temaram yang dirundung kekosongan akibat si pemilik kamar tengah terlelap di atas kasur.

Tepukan pelan di pipi si pemilik kasur dapatkan. Kedua bola mata pemuda itu bergerak pelan di balik kelopak yang mengatup rapat akibat merasa terusik.

"Sehun, bangun," vokal lembut itu mengudara. Bersatu bersama udara. Merambat pelan ke kedua telinga Sehun dan meleleh bagai permen di rungunya.

Sehun mengangkat kedua kelopak matanya, dua buah manik serupa kacang almond itu menangkap rupa cantik bak dewi tengah tersenyum teduh padanya.

"Kamu kapan datang?" tanya Sehun dengan suara serak khas bangun tidurnya. Ia kembali memejamkan netra dengan kedua lengan perlahan meraih tubuh mungil itu ke dalam pelukannya. Membawa raga sang kekasih ke dalam dekapan dan berbaring bersama di atas kasur empuk bersprei krem itu.

"Sepuluh menit yang lalu. Dan astaga, Sehun, mandi dulu. Kamu bau tau gak," protes si gadis sambil menutup lubang hidung. Berlagak tidak betah dengan aroma tubuh Sehun yang sebenarnya tak seburuk perkataannya.

"Nanti, ah. Mau peluk-peluk dulu," balas Sehun tak acuh. Ia mengeratkan rengkuhannya dan mengendus aroma favoritnya selama hidup itu.

"Mandi, Huuun! Aku laper nih. Masakin sesuatu gitu, untuk aku," rengek Irene—sang kekasih hati, pemilik senyum yang telah menjadi candu bagi Sehun.

Sehun merengut. Ia buka kedua matanya lalu menatap Irene dan pura-pura cemberut. Memberi jarak antara tubuhnya dan tubuh Irene.

"Kamu ke sini cuma mau makan?" Sehun berucap sambil menarik pelan hidung mungil Irene.

Irene tertawa ala raksasa jahat. "Iya, dong! Tamu 'kan harus dijamu!" balas gadis itu berbangga diri.

Sehun mencebik. Jika tidak ada rasa sayang, mungkin sudah ia dorong tubuh kecil kekasihnya itu hingga jatuh bercumbu dengan lantai. Sayang sekali, alasan jantungnya berdebar sekarang saja adalah Irene. Bisa mati mendadak dia bila mendengar Irene meringis kesakitan. Dan juga, dia tidak mau melihat Irene kesakitan lagi. Sudah cukup satu kali.

"Ayo dong, Hun. Masakin aku nasi goreng aja deh. Tapi pake sosis, ya!" semarak si gadis sambil menepuk-nepuk pundak Sehun.

"Sosis yang mana nih?" kedua alis Sehun menanjak naik. Memberi tatapan menggoda juga seringaian jahil laki-laki itu.

Irene mendengus malas. "Dasar mesum. Ayo, cepetan bangun! Kalo enggak aku pergi!" ancam Irene sambil mengubah posisi menjadi duduk. Tak lupa dia memberi tatapan dan ekspresi galaknya.

Sehun malah tertawa melihat raut wajah yang menurutnya sangat menggemaskan itu. Padahal, sejak tadi pagi kepalanya sakit. Ia bahkan tak berselera untuk melakukan apa-apa hingga akhirnya dia memilih tidur hingga petang.

Namun kedatangan Irene seperti biasanya, benar-benar menjadi pereda segala rasa sakit yang dia punya. Termasuk pening di kepala pun rasa perih di rongga dada. Ia usap pipi Irene lembut setelah posisinya sama dengan kesayangannya itu.

Sehun menatap Irene penuh arti. Entah sejak kapan, Irene telah menjadi dunia bagi Sehun. Dan bila Irene pergi, maka ia hancur. Sebab ia tak punya tempat berpijak dan bernaung lagi.

AftoíTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang