"Life is not fair... Why does it rain hard on those who deserves the sun the most?"
Sehun menengadah pada langit, memandang kelabu mereka yang nampak mampu menerkam siapa saja. Alamat akan hujan beberapa menit yang akan datang.
Raungan langit bahkan mulai terdengar. Angin bertiup amat kencang. Walau begitu, Sehun masih setia pada posisinya. Menatap langit yang agung dengan sorot kosong. Namun tak lebih kosong dari hatinya.
"Ya ampun, Sehun! Aku mencarimu ke mana-mana!"
Suara itu berhasil menggelitik telinga Sehun. Lelaki berkulit putih yang nampak pucat itu lantas menoleh. Dia mendapati seorang gadis yang mengenakan sweater berwarna kuning-amat kontras dengan suramnya langit- tengah tersenyum ceria padanya.
Sosoknya bagaikan mentari di tengah badai. Tatapan dan suaranya memberikan kehangatan.
"Apa yang kau lakukan di sini sendirian?" tanya si gadis sembari menghampiri Sehun. Senyum tulusnya tak kunjung luntur.
"Hanya... Melihat langit," jawab Sehun pelan.
Mendengar jawaban Sehun, si gadis ikut mendongak dan melihat langit yang sudah bersiap menyerang bumi dengan tetesan air.
"Langit saat mendung juga indah, ya," kata gadis itu memuji. Sehun meliriknya dan mengangguk dalam diam.
"Tapi terkena guyuran hujan deras bukan hal yang bagus. Mari kita ke kamarmu saja." Si gadis berkata lalu bergerak mendorong kursi roda yang diduduki oleh Sehun.
"Apa kau sedang sedih?"
Sehun menggeleng.
"Lalu?" tanya gadis itu lagi.
"Irene, apa suatu saat kau juga akan pergi?"
Pertanyaan Sehun membuat gadis yang bernama Irene itu tersenyum tipis di belakang si adam.
"Bukankah semua orang akan pergi? Kau juga akan pergi suatu saat," jawab Irene masih dengan nada bicaranya yang santai dan menyenangkan.
Sehun tak merespons. Dia diam dan menundukkan kepalanya. Kedua irisnya mengarah pada sepasang kaki yang tidak bisa ia gerakkan lagi semenjak kecelakaan itu. Kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tuanya juga kemampuan kakinya.
Semenjak itu, Sehun tinggal di rumah sakit. Kesehariannya hanya meminum obat, diperiksa oleh dokter atau perawat, tidur, atau melamun. Tidak ada keluarga yang menjenguknya. Sehun merasa sepi dan kosong. Manalagi, dia harus berhenti sekolah karena peristiwa itu.
Namun semenjak tidak sengaja bertemu dengan Irene, rasa kosong di dalam rongga dada Sehun berkurang. Gadis yang ceria itu menjadi temannya. Datang tiga kali dalam satu minggu ke rumah sakit. Setidaknya, rasa sepi Sehun hanya datang sesekali saja.
Gadis itu yang membuat Sehun merasa hidupnya masih berharga meski sudah kehilangan kemampuannya untuk berjalan.
"Apa kau ke rumah sakit untuk menghibur para lansia lagi?" tanya Sehun saat mereka sudah berada di dalam lift.
"Ya, selain itu aku juga kangen padamu," kata gadis itu blak-blakan.
Sehun mendengkus pelan. "Dasar aneh," cibir lelaki itu.
"Hei, kau juga pasti kangen padaku kan? Sampai-sampai memandang langit dengan sendu begitu!" ujar Irene seloroh.
"Siapa bilang? Dasar narsis," ucap Sehun mengelak. Dalam hati tentu saja dia merindukan gadis manis itu. Selain Irene, dia tidak punya siapa-siapa lagi.
"Sehun, mengenai pertanyaanmu..."
"Pertanyaan yang mana?"
"Pertanyaan yang pergi-pergi itu loh! Kau ini masih muda sudah pikun!" cerocos Irene sebal. Dia bahkan sampai memukul kepala Sehun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aftoí
أدب الهواةAftoí means they in Greek. Because all of these stories are about them, Oh Sehun and Bae Irene. Special for all purlskys out there. Sehun and Irene oneshot collection. ©2O19 | rekata