Dua laki-laki dengan wajah mirip duduk berhadapan, jaraknya tidak terlalu dekat tapi tidak juga terlalu jauh. Ada cermin diantara mereka. Ruangan di sekeliling mereka gelap. Tatapannya saling tertuju dan sesekali saling menukar senyum. Satu senyum dengan wajah apa adanya, satu lagi senyum dengan sinis dan mata menajam. Mereka merasa menang satu sama lain.
Mereka sedang beradu argumen, bahkan beberapa menit lalu mereka saling menarik urat dengan masing-masing pendirian. Entahlah, mereka berdua mungkin sangat berbeda. Ahh... tapi tidak juga, lihat saja pada wajah dan postur tubuh mereka, mereka sama. Benar-benar sama.
Si wajah sinis kembali tersenyum, mengejek. "Apa yang bisa kau lakukan tanpa aku? hah?! Kau itu hanya bisa bersembunyi di balik diriku. Jadi, sudahlah... biarkan aku yang melakukan semuanya. Aku saja yang melanjutkan semuanya. Biar ku balaskan dendam kita karena aku sangat yakin kau tidak akan bisa melakukannya." Sudut bibirnya kembali naik, matanya memicing menatap lawan bicaranya yang mulai meradang.
"Hey, don't look at me that way, tatapan tajam itu hanya milik ku. Kau sangat tidak pantas melakukannya, tidak perlu susah payah menyamai diriku. Kau hanya lakukan saja apa yang biasanya kau lakukan, menangislah sanah dipojokan, meringkuklah disana, berteriak lah sesuka hatimu, atau pergi saja seolah kau berar-benar tidak pernah ada. Itu yang kau lakukan. Kau tidak bisa melakukan apa yang ku lakukan, karena itu kau memanggil ku, menahan luka barang secuil saja kau tidak mampu, jangan coba-coba kau melawanku, seenaknya saja kau memintaku berhenti, memangnya siapa yang meminta aku untuk datang, memangnya siapa yang memohon padaku untuk luka-luka mu itu. Ahh... tentu saja itu bukan lukamu, semua itu milikku. Kau sama sekali tidak menyimpan luka, iya, kan? Akulah penyimpan luka itu sekarang, dan lihat, aku baik-baik saja, aku tidak lemah seperti dirimu. Yang harus ku lakukan hanya membalaskan dendam kita, dan yang harus kau lakukan hanya diam saja seperti biasanya kau membiarkan ku menyelesaikan semuanya. Biarkan aku menyelesaikan apa yang harus ku lakukan. Aku tidak mungkin berhenti saat semua sudah hampir di garis akhir. Aku memanggilmu karena aku ingin mengajakmu bersenang-senang. Ayo kita lalukan ini bersama secara sadar, kau harus mengingatnya ya, setuju?" Mulutnya terus berkoar-koar sampai berbusa, dia selalu membahas pembalasan dendam yang sudah di depan mata.
Sekarang laki-laki berwajah polos apa adanya sudah hilang, wajahnya berbalik, menjadi merah padam menahan amarah. "Biadap kau Brigit! Keterlaluan! Kau bahkan menarik ayahku seperti hewan buruan!"
Kelekar tawa menggema di ruangan gelap dan kosong itu. Suasana yang tajam dan membuat bulu kuduk merinding. "Apa katamu? Aku tak percaya Aldric akan mengucapkan kata kotor itu, dan apa? Ayahmu? Apa aku tidak salah mendengarnya, sejak kapan dia menjadi ayahmu? Hah?! Bahkan aku sangat yakin seberapa banyak kau membencinya," matanya menajam kembali, penuh kebencian. "Janganlah kau sok suci dengan mengatakan bahwa dia ayah mu! Memangnya apa definisi ayah bagimu? Laki-laki dewasa yang setiap hari memukuli mu? Laki-laki dewasa yang setiap hari menyiksamu? Menyeretmu? Menenggelamkan wajahmu di air? Sampai kau harus bersembunyi setiap kali dia pulang dalam keadaan mabuk dan marah! Ayah yang tidak pernah memberimu kasih sayang?! Ayah yang terus memukuli ibu mu hingga sekarat dan mati! Bajingan yang membuatmu hidup sendiri dalam ketakutan! Yang membuatmu menahan luka hingga kau memanggilku! Bajingan...!"
Pyaaar...
Kaca itu pecah, kaca yang ada di antara mereka. Wajah si sinis tak lagi ada, hilang tertutup garis-garis tajam retakan kaca. Bukan, bukan hilang selamanya, itu hanya bayangannya saja yang hilang, sisi jahat itu tetap ada padanya, masih melekat pada dirinya. Aldric menatap tangannya nanar, berdarah. Pecahan kacanya merobek kulitnya. Itu mati rasa, lebih sakit sisi hatinya.
Beberapa jam lalu Brigit menguasai keadaan dengan membabi buta, meluapkan emosinya, luka-lukanya, segala yang dimilikinya. Aldric tak mampu melawan untuk menghentikan Brigit yang sudah benar-benar gila. Dia terkurung di dalam ruangan gelap dan dingin. Brigit menyeret ayahnya dan terus memukulinya, semakin parah saat ayahnya memohon belas kasihan.Lalu, saat segalanya ada di puncak ketegangan, dimana tongkat baseball ada di genggaman Brigit, dan sedikit lagi akan melayang menghantam wajah laki-laki tua tak berdaya yang tergeletak dilantai, Brigit berhenti. Dia berniat memanggil Aldric dari kotak gelapnya, dari persembunyiannya, dia ingin mengajak Aldric untuk menikmati waktu menyenangkan ini.
Biasanya, ketika Brigit terbangun dan menguasai keadaan, Aldric akan terkurung di ruangan gelap tanpa tahu apa yang dilakukan Brigit. Sedangkan saat Aldric menguasai keadaan dan tubuhnya, Brigit tetap terjaga dan mengikuti Aldric seperti bayangan gelap. Tapi kali ini, Brigit mencoba membangunkan Aldric, mengajaknya keluar dari ruang gelap itu untuk sama-sama menikmati kematian laki-laki tua ini.
Semuanya terhenti karena Aldric menolak semua rencana itu. Mereka saling berargumen, dan Aldric terus mencoba melawan, dia ingin menguasai keadaan. Dia ingin menguasai tubuhnya, dirinya. Dan menghentikan semuanya.
"Kenapa? Kau yang tersadar sekarang? Kau semakin hebat menyingkirkan ku." Kata suara dingin. Suara itu ada di pojokan, memunculkan bayangan gelap yang samar terlihat di ruangan yang juga gelap. "Dengar Aldric, kau mungkin tidak benar-benar tahu bagaimana rasanya menyimpan luka, karena semua kenangan buruk itu, luka itu, semua ada pada ku, tapi kau tahu betul, dia bukan laki-laki pelindungmu! Jadi, jika definisi ayah bagimu adalah orang kejam yang menyiksa anaknya sendiri, membunuh isterinya sendiri. Maka selamatkan dia."
Slap... Brigit menghilang di dalam gelap.
Aldric memejam matanya kuat, berusaha menghilangkan Brigit dalam dirinya. Dia mengatur nafasnya yang masih berantakan. Sejenak dia menangis meraung meluapkan segala emosi yang ada. Kenapa dia harus hidup berdampingan dengan Brigit, dia bahkan tidak punya hati nurani sama sekali.
Satu tubuh tergeletak lemas di lantai dingin dan berdebu. Sudut mulutnya berdarah, wajahnya lebam, dan dapat diyakini dibalik bajunya, di sekujur tubuhnya terdapat lebam juga. Langkah kaki yang menggema mendekat. Laki-laki yang tergeletak itu membuka matanya, melotot hingga nyaris keluar.
"Maafkan Ayah, Aldric. Maafkan ayah, ayah bukan ayah yang baik untuk mu, ampuni ayah, Aldric." Katanya memohon sampai berkaca-kaca.
Kakinya berhenti melangkah melihat ayahnya terbaring, berusaha bangkit untuk berlutut dengan kaki dan tangan yang masih diikat. Sejenak Aldric menikmati pemandangan yang tidak biasa ini, lalu menghela dan mendekat lagi.
"Sudah, tidak usah bersusah payah memohon, tidak usah berpura-pura membuang air matamu. Itu tidak akan membuatku percaya bahwa kau menyesal, dan yang lebih penting, itu tidak akan membuat ibuku hidup kembali. Juga, asal kau tahu, tidak perlu memohon padaku karena yang melakukan semua ini padamu bukanlah diriku, tapi Brigit." Katanya sambil melepas ikatan di tangan dan kaki ayahnya.
"Brigit?"
"Kau sering melihatnya, awal dia muncul saat pertama kali kau menenggelamkan wajahku ke air sampai aku pingsan, yang terbangun saat itu bukan aku, tapi Brigit. Setelah itu, kau ingatkan? yang melawan mu menggunakan pisau adalah Brigit bukan aku. Puncak kemarahannya adalah saat ibu sudah lemas karena kau pukuli tapi kau tidak berkedip sekali pun untuk berhenti dan membuatnya meninggal. Apa kau ingat apa yang terjadi setelah itu?"
"Kau datang membawa gergaji, mencoba memotong kaki ayah, tapi ayah berhasil melawan dan mencoba mencekikmu." Katanya pelan, waspada jika saja anaknya akan menyerangnya lagi."Sudah ku bilang itu bukan aku, itu Brigit."
"Itu jelas dirimu, ayah masih ingat itu kamu bukan orang lain."
"Asal kau tau, wajah yang kau lihat itu memang aku, tapi yang ada dalam diriku saat itu adalah Brigit, dia datang menghapus luka dan ingatan keji dalam otakku, dia yang membawa dendam ku untuk mu. Dia yang terus menjadi kuat untuk melawan mu, kau menciptakan sisi lain diriku yang kejam! Kau yang membuatku tidak bisa lepas dari Brigit! Karna mu aku kehilangan ibu!" sekali pukulan mendarat di pipi ayahnya, lalu dia bangkit.
"Dia adalah pribadi lain yang kau buat karena kekejaman mu, pribadi dengan penuh luka dan kebencian. Bahkan dia menamai dirinya Brigit yang artinya kekuatan, entahlah, apa aku harus membencinya atau berusaha menerimanya.
Untuk saat ini, aku hanya akan berterima kasih padanya, kerena dia, aku sempat melupakan luka dan ingatan keji yang dia bawa dari diriku. Sekarang ku ingatkan padamu, pergi lah sejauh yang kau bisa, jangan biarkan aku, ah... bukan, tapi Brigit, jangan biarkan dia menemukan mu, jika dia berhasil menemukan mu, aku tidak akan menghentikannya untuk menghabisi mu."
Aldric pergi meninggalkan ayahnya yang masih tergeletak mencerna kata-kata anaknya.
"Tidak, aku berubah fikiran, bahkan jika yang nanti kau temui adalah aku bukan Brigit, aku tidak dapat menjamin atas keselamatanmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen
Короткий рассказHanya sebuah ide cerita yang tiba-tiba muncul, lalu kutulis untuk membayar kepuasanku sendiri. Tapi akan sangat bersyukur jika kalian juga menikmatinya. Selamat membaca.