nightmare

829 14 0
                                    

Mataku terbuka karena sesuatu yang mendesak. Ku pegang kuat tenggorokan ku yang tiba-tiba tercekat seperti ada yang mencengkeramnya. Sangat kuat. Apa ini? Apa yang sedang terjadi? Pandanganku kabur, atau mungkin memang sesuatu menghalangi pandanganku. Dimana-mana ku lihat gelap kelabu, ada dimana aku? Sebelumnya aku ada di kamar kosku. Tertidur pulas karena lelah bekerja.

Jantungku berdenyar. Sedikit tersadar bahwa posisiku berbaring, aku mencoba bangkit. Saat ku lihat sekitar dengan memicingkan mataku, ini kamar kosku! Tapi apa yang terjadi? Gelap kelabu yang ku lihat itu asap, asap tebal yang memenuhi ruangan kecil ini.

Samar ku dengar suara bising dari luar, tapi aku tak bisa mendengarnya dengan baik. Entah apa yang mereka bicarakan. Yang ku dengar hanya sebuah teriakkan. Atau otakku sudah tidak bisa berfikir apa yang mereka katakan.

Tenggorokanku semakin kering. Memaksaku terbatuk dengan dada nyeri di setiap batuknya. Nakas ku, dimana nakas ku? Aku selalu meletakkan minum di atas nakasku sebelum tidur. Akau butuh minum itu!

Pyaar...

Oh tidak! Aku menjatuhkan gelasnya. Aku menumpahkan air di dalamnya. Seseorang tolonglah aku!

Tubuh ku lunglai. Aku terduduk dengan dada dan tenggorokkan yang semakin nyilu. Sesak sekali. Matakku memanas, setetes dua tetes air mata ku terjatuh. Tidak! Bukan saatnya aku menangis. Aku harus mencari tahu apa yang terjadi. Ku jejakkan kakiku susah payah, mendekati pintu kamar kosku.

Asap itu mengepul masuk dari ventilasi di atas pintu. Sebuah letupan-letupan kecil semakin terdengar seiring aku mendekat pada pintu. Ku pegang gagang pintu bermaksud ingin membukanya. Gagang pintu itu panas, sangat panas. Tapi aku tak merasa sakit memegangnya. Apa otakku berhenti mengirim sinyal, apa aku gila?

Duaarr...

Pintunya terbuka. Terbuka tanpa aku membukanya. Aku juga terhempas saat pintu itu terbuka dengan sendirinya. Mataku terkejap, berusaha bangkit duduk dari posisiku.

Ahh... punggungku sakit sekali. Ku pikir punggungku terbentur lemari dengan keras saat aku terhempas. Seisi kamarku menjadi terang. Sangat terang namun pandanganku masih terhalang asap. Kulihat arah pintu, apa itu?

Sebuah cahaya oranye yang meliuk berkibar mencuri perhatianku. Mataku nanap karena terangnya cahaya itu. Hawa panas menyapu pipiku. Tiba-tiba asapnya menebal masuk ke kamar kosku. Dada ku semakin dan semakin sesak. Ingin berteriak tapi aku bahkan lupa caranya berteriak. Otakku tak bisa merespon baik apa yang ku lihat. Aku tak dapat berfikir apa itu yang ku lihat.

  Dari kejauhan kulihat cahaya itu melahap satu-satu apapun yang menghalangi jalannya. Lagi-lagi kukerjapkan mataku untuk memperjelas pandanganku. Aku semakin terpojokkan saat cahaya-cahaya itu datang ke arahku. Masuk ke dalam kamar tanpa permisi.

Saat itulah ku tahu cahaya apa itu. Api!

Blam... nyawaku seperti melayang tiba-tiba, kakiku semakin lemas. Aku merangkak menjauhi pintu kamar. Tapi dia, si api itu mulai mengikutiku perlahan, memakan semua apa yang ada di kamar kosku.

Otakku berfungsi secara tiba-tiba. Semua video terputar dalam ingatan ku. Bersama Ibu, Ayah, dan dua adikku yang sering ku marahi karena mengganggu aku belajar dulu. Dadaku terus berdenyar, ingatan itu mengintimidasiku. Mengapa semua muncul? Ingatan itu? mengapa?

Apa ini akhir bagiku?

Ibu, Ayah tolong aku... bayi kecilmu ini sedang takut. Aku tidak ingin mati begini. Aku ingin mati dalam pelukan Ibu. Aku ingin mati dalam pelukan Ayah. Seseorang tolong akuu!

“Allahu Akbar!” Tiba-tiba suaraku keluar dengan lantangnya saat atap kamarku luruh sebagian tepat di depanku.

Dan slap! Sebuah cahaya membutakan mataku sejenak. Pelan ku lihat seseorang berjalan ke arahku di tengah api. Siapa dia? Apa dia malaikat yang siap mencabut nyawaku?

Tiba-tiba sebuah cahaya menabrak mataku lagi. Slap! Kukerjapkan mataku berkali-kali. Berusaha membuka mata dengan susahnya. Dimana lagi aku? akhirat?
.
.
.

Sebuah suara tertangkap indera pendengarku. Ini terdengar seperti alat deteksi tubuh yang berbunyi Tuut... tutt... tutt... entah apa maksudnya alat itu, yang ku tahu aku pernah mendengar dan melihat alat ini saat menengok kawanku di ICU.

Samar lagi kudengar suara yang terus berucap syukur. Aku mengenalnya. Aku tahu suara itu. Suara lembut yang menemani ku sejak kecil, suara yang selalu menenangkanku. Suara Ibu...

Laki-laki berjas putih datang mendekatiku. “Pasien, anda mendengar saya?” katanya.

Pelan ku anggukan kepalaku menjawabnya. Ku arahkan mataku mengelilingi ruangan ini. Sebuah kamar yang cukup luas. Ada sofa. Ranjang kecil untuk satu orang. Infus yang mengarah pada tangan kanan ku. Dan beberapa orang yang berdiri di belakang laki-laki berjas putih tadi.

Ibu.
Ayah.
Dua adikku.

Dan satu lagi laki-laki berkaos putih di samping adikku, siapa dia?

Ibuku menangis dalam pelukan ayah. Membuat mataku memanas juga dan ikut menangis. Ada rasa lega yang datang dalam hatiku tiba-tiba. Mungkin aku merasa lega semua yang terjadi itu sudah berlalu, sebagai mimpi, atau memang benar terjadi?

“Nona, anda ingat  nama anda?”

“Tita.” Kataku dengan suara serak. “Citra Maulia.” Aku menjawab lagi, menyebut nama lengkapku. Laki-laki itu tersenyum ke arahku dan keluargaku.

“Itu Ibu, Ayah, dan adikku. Anda, pak dokter.” Kata ku tersenyum padanya yang balik tersenyum.

Dokter mengecek kesehatanku, katanya aku baru tersadar setelah hampir toga hari tertidur. Saat itu mataku terus terarah pada laki-laki berkaos putih. Siapa dia? Aku seperti pernah melihatnya, dimana?

“Hai,” katanya tiba-tiba setelah dokter selesai memeriksa. Aku diam tidak menjawab. Hanya menatap pada matanya yang indah, hidung mancung, dan alis tebalnya. “Tidak mengingatku?”

Sekelebat bayangan datang dalam ingatan ku, wajahnya. Wajah laki-laki ini. Aku melihat wajahnya dalam mimpiku. Dia laki-laki berbaju oranye, yang datang kearahku, merangkulku, menggendongku. Ditengah lautan api.

Aku tersenyum padanya. Dia tersenyum padaku.

“Iya, aku ingat, kamu, malaikatku.”

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang