Satu ruang terasa gelap dan sunyi, hanya cahaya matahari siang yang mencuri celah gorden yang belum terbuka menyelinap masuk. Satu orang terduduk di pojokan. Memeluk lututnya sendiri. Hatinya berdebam, entah mengapa jadi seperti ini. Seluruh tubuhya nyilu, entah juga sejak kapan jadi begini.
Seseorang datang mengetuk pintu dan membukanya sedetik kemudian. Wanita parubaya cantik yang baru masuk itu tersenyum, menyapa anaknya yang duduk di pojok. Dia tahu anaknya sedang melamun. Dia datang mendekat menyibak gorden. Dan, byar! Sapuan cahaya matahari seperti menabrak mata si anak yang otomatis memejam kuat.
Ibunya datang membangunkan duduk si anak. “Kenapa duduk di bawah begitu?”
“Mama masak apa untuk sarapan?” tanya si anak, tanpa menggubris pertanyaan ibunya.
“Ini bukan waktunya sarapan, sayang. Hari sudah siang begini kamu sebut itu sarapan?” si ibu menunjuk arah jendela, menarik meatahari sebagai saksi. “Ayo makan,”
Kelontang piring dan sendok yang sesekali berdenting seperti menggema memekak telinga. Tidak ada obrolan yang mengalir seperti biasanya saat keluarga ini makan bersama. Si anak menatap satu-satu orang tuanya. Heran, kenapa tak ada suara? Denting piring malah membuatnya pusing.
Berfikir mencari bahan obrolan sedikit susah dengan suasana yang terlanjur datar. Mata si anak masih mencuri pandang kepada orang tuanya yang saling terdiam. Sibuk dengan makanan masing-masing. Padahal si ibu terlihat baik saja tadi.
“Biar aku yang mencucinya,” si anak membantu ibunya merapikan piring setelah mereka semua selesai. “Ada apa, ma? Kenapa papa diam begitu?”
Si ibu tersenyum melihat kekhawatirannya, “Tidak pa-pa, sayang, papa hanya sedikit lelah dengan pekerjaannya.”
“Bukannya abang sudah ikut bekerja di perusahaan? Apa abang tidak melakukan apapun? Apa abang tidak bisa melakukan apa-apa?” senyum si anak sedikit mengejek abangnya yang bahkan tak ada di situ. Ibunya hanya tersenyum, dia diam lagi. Sesekali tatapannya kosong. “Apa ada sesuatu yang kalian sembunyikan?”
Si ibu terkejut dengan pertanyaan ini, matanya menatap dalam si anak. Dia mencari sesuatu di mata anaknya. Benarkah dia tidak tahu apa yang terjadi?
“Apapun yang terjadi, jadilah Sharen mama yang baik, Sharen kecil mama yang selalu ada untuk mama, karena mama juga akan selalu ada untuk Sharen. Mengerti?”
“Mama ada-ada saja, jangan sebut Sharen anak kecil lagi, ma.”
“Sayang, sebanyak apapun jumlah umur anak, sedewasa apapun dia, dia akan selalu menjadi bayi kecil untuk orang tuanya.”
Mata si anak berbinar. Ibunya memang terbaik. “Aku akan menjadi ibu yang seperti mama kelak.” Dia mendekat memeluk ibunya. “Oiya, ma, nanti Rommi datang, mau makan malam disini.”
Si ibu pucat tiba-tiba, raut wajahnya berubah seketika. Ingin dia menyembunyikannya tapi susah! Matanya memerah perlahan. “Kamu masih berhubungan dengannya?”
“Mama bicara apa, sih? Ya masih, dong, kita sudah bertunangan ma... dan dua minggu lagi kita menikah. Kenapa mama bertanya begitu?” Sharen menunjukkan cincin di jari manis tangan kirinya. Sambil menggeleng dan tersenyum dia kembali ke kamar.
Sedetik.
Dua detik.
Tiga detik.Sharen menatap dan menghitung tiap detik jalannya jarum jam di atas nakas. Akhir-akhir ini, dia merasa sepi tanpa hal yang pasti. Sering kali ditarik maju mendekat ke pojok kamarnya. Dengan perasaan yang tak tahu apa, dia mulai menangis sampai lelah. Seperti itu setiap dia sendiri di kamar.
Lagi. Sambil menatap detik jam tadi. Kakinya menyetujui tarikan di pojokan kamar, meringkuk memeluk lutut. Menghitung jalannya waktu. Menunggu kapan jam akan menunjuk ke angka tujuh, dimana pujaan hatinya akan datang. Kapan handphone-nya berdering? Dia juga menunggu telpon dari Rommi, biasanya Rommi akan menelponnya dan memberitahu bahwa dia akan berangkat pergi kerumahnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/122034148-288-k403157.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen
Cerita PendekHanya sebuah ide cerita yang tiba-tiba muncul, lalu kutulis untuk membayar kepuasanku sendiri. Tapi akan sangat bersyukur jika kalian juga menikmatinya. Selamat membaca.