Aku masih bisu. Hampir dua menit, sudah. Mungkin. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan atau bagaimana aku meresponnya. Kata-kata itu menamparku. Sudah lagi rasanya seperti ditampar dengan sepatu berduri.
"Apa?" tanya dia sekali lagi, menantangku. "Jadi maumu aku harus bagaimana?"
Aku masih diam. Benar-benar seperti orang bodoh. Mati kutu.
Aku harus jawab apa?
"Jadi kau merasa punya hak, begitu? Melarangku berhubungan dengan laki-laki lain selain dirimu?"
Iya!
"Hanya atas dasar kau sahabatku?"
Apa?
"Lucu, sekali. Kau bilang kau tak ingin menodai persahabatan kita selama dua belas tahun ini. Kau tak mau mengikuti hatimu lebih jauh denganku. Kenapa? Apa aku benar-benar hanya sebuah noda?"
Bukan!
"Lalu, sekarang? Kau bingung dengan perasaanmu sendiri, kan? Kau mencegahku setiap aku dekat dengan laki-laki lain. Lalu maumu apa? Kau tak mau menerimaku, tapi kau juga mencegahku untuk pergi."
Aku menggeleng tiba-tiba entah untuk alasan apa.
"Aku memberanikan diriku menyatakan perasaanku padamu. Aku sangat menghargai dirimu, saat kau ingin kita tetap pada porsi kita tanpa melebihkannya. Lalu apa sekarang? Melarangku menemui laki-laki lain?"
Entah, aku hanya tak bisa.
"Sadarkan dirimu! Buka matamu! Posisikan dirimu seperti apa yang kau mau!"
Oh! Tidak, aku melukainya.
"Kau tak tahu bagaimana aku bisa menekan perasaanku padamu? Menata hatiku sendiri. Bersikap biasa seolah tak terjadi apa-apa di antara kita setiap kita bertemu setelah aku menyatakan perasaanku."
Komohon ampuni aku.
"Kau melarangku untuk masuk, tapi kau menahanku saat aku ingin pergi. Maumu apa?"
Tidak, aku tidak ingin kau pergi.
"Kupikir kau mengenalku dengan baik. Kupikir kau yang paling mengerti diriku. Kupikir, denganmu aku tak perlu merasa takut untuk tersakiti."
Aku tak lebih baik dari semua laki-laki brengsek yang kau ceritakan padaku. Nyatanya.
"Apa kau selalu seegois ini, Danis?"
Kumohon jangan tatap aku begitu.
"Jika saja kau dulu mau menerimaku, meski pada akhirnya kita memang harus berpisah. Kupikir itu akan jauh lebih baik daripada harus berhadapan dengan situasi seperti ini."
Aku mengulurkan tanganku, ingin menghapus keringat dari matanya yang begitu terlihat lelah. Tapi dia menepisku, begitu cepat. Lalu mundur tiga langkah.
"Hari ini, kau kehilangan banyak hal, Dan. Satu, kau tak akan pernah memiliki hatiku lebih dari yang selama ini kau punya. Itu artinya, aku tak akan bisa kembali mencintaimu setelah aku bersusah payah membuangnya. Meskipun pada akhirnya kau mungkin berjalan ke arahku. Dua, kau tak akan bisa memulihkanku untuk kembali seutuhnya. Aku sudah pernah memulihkannya kembali, dengan kesusahan-kesusahan yang kualami sendiri, bertemu denganmu seperti tak terjadi apa-apa, itu lebih sulit dari saat aku mengatakan cinta. Tiga, kau kehilangan semuanya hari ini. Termasuk sahabatmu yang kau lindungi selama lebih dari sepuluh tahun."
Apa?
"Kalau ada orang lain yang menyakitiku, aku bisa terima. Tapi itu akan berbeda jika kau sendiri yang melakukannya, Danis."
Kumohon...
"Tenang saja, akan aku pastikan kau tak merasakan apa yang aku rasakan. Aku tak akan menyiksamu dengan perasaan mengerikan sertiap kita bertemu lagi seolah tak terjadi apa-apa setelah ini. Karena, aku tak akan biarkan kesempatan itu ada. Tak akan."
Aku semakin kalut dalam pikiranku sendiri.
" Karena tidak akan ada kesempatan lain untuk kita bertemu setelah ini."
***
Pernah dengar? Istilah kaca atau gelas yang jatuh lalu pecah? Kau mungkin bisa menyatukannya, tapi retakkannya pasti membekas. Permanen. Pikir saja, apa yang akan terjadi dengan gelas atau kaca itu jika sekali lagi jatuh?
Hancur.
Remuk.
Menjadi pecahan-pecahan yang kecil dan tak bisa disatukan lagi.
Tamat.
Selesai.
Tak akan ada lagi yang bisa di selamatkan. Gelas dan kaca itu tak akan berfungsi sebagaimana mestinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen
Historia CortaHanya sebuah ide cerita yang tiba-tiba muncul, lalu kutulis untuk membayar kepuasanku sendiri. Tapi akan sangat bersyukur jika kalian juga menikmatinya. Selamat membaca.