Entah aku harus tertawa atau menangis dengan hal lucu ini. Mata laki-laki yang pernah menjadi titik rindu buatku. Dulu. Ada di depan mataku lagi setelah hilang lima tahun. Laki-laki yang pernah menjadi kekasih hatiku dulu, yang pergi setelah sepakat mengakhiri hubungan.
Kami diam tanpa suara beberapa saat. Cukup lama untuk hanya diam. Mungkin dua menit.
Lalu, kemudian kami tepaksa menyadarkan diri dari posisi diam berkepala kosong, berpisah beberapa langkah karena seseorang mencolekku.
“Excuse me,” katanya, meminta izin untuk menduluiku. Lewat di sela barisan tempat duduk penumpang pesawat berkapasitas 156 penumpang.
Aku kembali ke arah dimana dia berada. Badannya memunggungiku. Memasukkan beberapa barangnya kedalam kompartemen kabin. Tampak sedikit tak perduli lagi dengan diriku. Aku menghela pelan, kembali fokus pada nomor tiketku. Mencari.
Sedikit harapan aku akan duduk disampingnya.
Tidak ternyata.
Dia ada di tempat duduk samping jendela sebelah kanan, sedangkan aku duduk di samping jendela sebelah kiri. Di antara kami ada barisan kursi lainnya. Setidaknya kami ada dalam satu baris lurus. Tunggu, apa? Kenapa aku seperti bersyukur?
Tidak ada hal-hal besar yang terjadi. sesaat setelah boarding, kami sama-sama duduk di kursi masing-masing. Sesekali saling memandang tanpa izin dan permisi. Terang-terangan. Tanpa malu. Tanpa gengsi.
Sesekali sebenarnya aku juga berpikir bahwa diriku sudah gila. Mengikuti pemikiran-pemikiran diluar nalar yang sama sekali tidak melarang mata dan kepala ini mengarah padanya. Malah dengan senang hati mempersilahkan. Seolah tak apa jika kami saling pandang.
Wajah dia tanpa ekspresi. Lebih pada arti tak terbaca. Aku tak tahu apa yang sedang dia pikirkan. Apa dia juga berpikir sama sepertiku? Menertawakan diri sendiri yang terus merasa ingin melihat kearahnya. Apa sebenarnya yang sedang kita berdua lakukan?
Bernostalgia dengan masa lalu di dalam pikiran masing-masing?
Tidak. Aku tidak. Terlalu sakit nanti jika aku harus kembali pada masa lalu itu. Lalu akan perlu waktu untuk kembali lupa. Semua sudah kukubur. Dalam dan hilang.
***
“Jadi maksudmu, kau ingin kita berakhir?” tanya Rinda pada Candra suatu malam dalam mobil. Dan hujan di luar.
Candra diam menatap lurus ke depan meski mobil mereka sedang diam. Menepi di tengah riuh hujan di luar dan beberapa dentuman petir yang malah lebih menggelegar di dalam mobil. Rinda masih menatap Candra meminta penjelasan. Dia rela mendengarkan meski harus berujung panjang. Berjam-jam akan dia relakan, demi mendengar secara gamblang maksud Candra sebenarnya.
Hubungan mereka bukan seumur jagung. Mereka bukan lagi anak-anak yang main putus nyambung dalam hubungan. Dasar dari hubungan itu benar dari awal, bukan untuk main-main. Lalu, kenapa tiba-tiba Candra mengajukan hal bodoh ini.
“Apa alasannya?” sekali lagi Rinda bertanya. Berulang kali dia bertanya, tapi tak satu pun mendapat jawaban. “Katakan, jangan hanya diam!”
Tak ada kata apa pun yang bisa Candra kelurkan dari sangkar mulutnya. Karena memang tak ada alasan bagi mereka untuk selesai. Ini hanya apa yang diputuskannya sendiri tentang ketakutan dirinya.
Kesalah pahaman dirinya memaknai arti suci sebuah pernikahan. Karena diam-diam ada cerita yang tak muncul diantara mereka. Cerita tentang keluarga Candra yang tidak seharmonis apa yang orang lain lihat. Coba pikirkan, sudah berapa umur Candra? Mereka berdua ada pada jumlah umur yang matang untuk menikah. Jadi, bisa kalian tebak juga berapa umur orang tuanya. Berapa usia pernikahan mereka?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen
Short StoryHanya sebuah ide cerita yang tiba-tiba muncul, lalu kutulis untuk membayar kepuasanku sendiri. Tapi akan sangat bersyukur jika kalian juga menikmatinya. Selamat membaca.