Aku tak mengerti apa yang terjadi sebenarnya. Mengapa semuanya menjadi rumit? Mengapa pada akhirnya cinta yang ku pertahankan selama ini hilang lenyap tak bersisa dalam hatiku. Aku bahkan tak merasa buruk atas hilangnya perasaanku, atas hilangnya dia dari hatiku.
Rindu yang ku tabung untuk hari bahagia dengannya, sudah hilang. Hilang seketika setelah janji yang kita jaga dia langgar!
Bukankah seharusnya dia yang paling paham dengan rasa sakit hati?! Bukankah dia yang harusnya paling membenci arti sebuah penghianatan?! Bukankah dia seharusnya yang membenci sebuah penghianatan?!
Aku yang menemaninya ketika dia hancur! Aku yang menemaninya saat orangtuanya berpisah! Aku yang menemaninya saat ayahnya pergi menghianati dia dan ibunya!
Lalu? Lalu mengapa sekarang dialah yang menghianatiku?! Kenapa dia melakukan ini padaku setelah apa yang kami lewati bersama?***
“Bisa kau jelaskan lagi? Kenapa kau pergi dengannya tanpa memberi tahu ku? Apa aku bukan hal penting lagi bagimu? Kau lupa dijari manismu sudah ada cincin yang mingikat kita? Apa kau juga melupakan semua yang kita siapkan untuk pernikahan kita saat pergi dengannya?” Asfada mencoba menahan amarahnya meski sulit.
“Harus ku bilang berapa kali, aku hanya tak sengaja bertemu dengannya disana, aku tidak pergi bersamanya.” Tolak suara bergetar dihadapan Asfada. Gadis itu tak tahu lagi bagaimana harus menjelaskan pada tunangannya. Dia benar-benar tidak dengan sengaja pergi bersama laki-laki lain.
“Lalu apa yang kau lakukan setelah bertemu dengannya disana? Katakan padaku kalau kau memang benar-benar bertemu dengannya tanpa sengaja dan tak melakukan apapun bersamanya setelah itu.”
“...”
“Lihatkan kau hanya diam tak bisa menjawabku! Karna nyatanya, meski kau memang tak sengaja bertemu dengannya, kalian menghabiskan waktu bersama disana. Tanpa sepengetahuanku, bahkan saat aku berusaha menelponmu kau mematikan ponsel mu. Apalagi alasan yang akan kau beri?”
“Tak bisakah kau hanya percaya padaku? Percayalah Fada, berikan kepercayaanmu padaku seperti biasanya. Aku bersumpah meski memang pergi dengannya aku hanya melakukannya atas dasar teman. Kami bertemu disana, kami sama-sama sedang berlibur, maka kami menghabiskan waktu bersama karna kami berteman. Karna kami saling mengenal ditempat asing itu. Percayalah padaku, Asfada.” Pinta gadis itu lagi.
Asfada diam sesaat, sibuk dengan semua pikiran yang menghampirinya. Dia sungguh tak mengerti harus berbuat apa. Apakah boleh dirinya marah pada tunangannya sedangkan hari pernikahan mereka tinggal tiga bulan lagi? Apakah benar jika dia marah dan membenci gadis dihadapannya, padahal orangtuanya sudah sangat menyayanginya sebagai seorang menantu?
Apa dia harus menutup mata dan telinganya? Menghilangkan semua amarahnya demi kelanjutan hubungan mereka?
“Untuk saat ini, jangan menghubungiku. Aku tidak ingin marah dan membencimu, aku tidak ingin semua yang kita rencanakan hancur berantakkan. Jadi biarkan aku sendiri dan menenangkan pikiranku.” Asfada bangkit meninggalkan tunangannya yang membeku dengan perasaan sedikit lega mendengar perkataannya. Jika Asfada mengatakan hal ini, maka dia berencana akan memaafkannya.
***
“Asfada apa yang kau pikirkan?!” Marissa berteriak setelah Asfada menarik paksa cincin di jari manisnya, lalu melemparkannya ke danau dihadapannya.
“Apa? Tanya pada dirimu sendiri sebelum kau bertanya padaku!”
“Asfada pernikahan kita sudah di depan mata! Apa maksudmu dengan membuang cincinku?”
“Kau bertanya maksudku? Maksudku adalah lupakan pernikahan karna kita tidak akan menikah!” dia bangkit berencana untuk pergi.
“Asfada! Apa kau tak memikirkan hati ibuku? Dia akan sakit hati jika tahu kita berpisah.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen
Storie breviHanya sebuah ide cerita yang tiba-tiba muncul, lalu kutulis untuk membayar kepuasanku sendiri. Tapi akan sangat bersyukur jika kalian juga menikmatinya. Selamat membaca.