Naumi

461 13 0
                                    

Namanya Hasan. Dia abangku. Sudah dua tahun aku hanya tinggal dengannya. Hanya siang hari aku dititipkan kepada tetanggaku, karena dia harus kuliah dan bekerja. Di umurku yang sudah beranjak dewasa ini, seharusnya aku tidak perlu dititipkan segala. Hanya jika aku normal. Sayangnya aku tidak bisa lagi berdiri tegak. Kakiku lumpuh karena kecelakaan. Orang tua kami meninggal saat kejadian. Abang? dia juga terluka saat itu, tapi syukur dia tidak terluka parah.

Dia malaikatku. Laki-laki hebat. Dia belajar dan bekerja dengan giat. Dia hampir memiliki kesempatan mendapat beasiswa ke Belanda. Tapi urung dia terima, alasannya? Aku. Karena aku dia melepas beasiswanya. Demi merawatku disini. Aku. Hanya. Beban.

Sore hari setelah kuliahnya selesai dia akan pulang sebentar, menyuapiku makan kalau sempat, membantuku pergi ke kamar mandi untuk mandi. Sesekali kalau tidak terlalu mepet waktu kerjanya, dia akan menyisir rambutku, menguncirnya, atau mengepangnya.

Awalnya dia tidak bisa. Sekali dia mencoba gagal. Bahkan sampai rambutku berantakkan. Wajahnya sangat lucu, frustasi karena tidak bisa melakukannya. Berulang kali ku bilang akan ku lakukan sendiri, tapi dia tetap ingin mencobanya. Terus berkali-kali. Beruntung tiga hari setelah belajar, dia bisa melakukannya, belum sempurna tapi sedikit lebih rapi. Aku tidak tahu bagaimana nasib rambutku kalau Abang tidak juga bisa melakukannya. Botak karena rontok.

Suatu hari beberapa bulan setelah kecelakaan. Dia pulang membawa kursi roda. Kado ulang tahun katanya. Aku tidak tahu bagaimana perasaanku sendiri kala itu. It was very complicated. Aku senang mendapatkannya, artinya aku bisa mengelilingi rumah dengan leluasa tanpa harus terus memintanya menggendongku. But, in the same time, I was really sad. Sebelum kecelakaan, janjinya padaku adalah sepeda yang akan ku dapat saat ulang tahun. Kerena di umur ke lima belas tahun itu, aku baru bisa menggunakan sepeda roda dua tanpa bantuan.

Dan, kuputuskan untuk terlihat bahagia. Ya, aku harus terlihat bahagia. Abang sudah sangat menderita, kehilangan mama papa, dan dia harus merawatku, juga harus melepas beasiswanya. Abang tersenyum padaku, senyumnya sangat indah saat itu.

Esok paginya dia bangun lebih pagi, ku dengar samar-samar dari kamar suara kursi dan meja digeser.

"Bang," ku panggil. "Bang Hasan?"

Dia datang dan menawarkan berbagai bantuan, bertanya berbagai macam. Mau minum? Lapar? Mau ke kamar mandi? Nonton tivi? Saat itu televisi masih di ruang tengah rumah kami, sekarang sudah di pindah ke kamar ku, katanya supaya aku tidak harus bolak-balik beranjak dari kasur saat dia tidak ada. Supaya aku tidak bosan walaupun sendirian di rumah.

Ku gelengkan kepalaku, "Bang Hasan lagi apa?"

"Ooo... mau lihat?" tanyanya, menawarkanku sambil menunjuk keluar kamar. Aku mengangguk, dia mengangkatku ke kursi roda. Lalu mendorongku keluar kamar. Posisi benda-benda di rumah ku berubah total, beberapa ada yang hilang, di pindah ke gudang katanya saat kutanyakan. "Supaya Naumi bisa bebas bergerak pakai kursi roda,"

Kali ini aku menangis. Bukan karena sedih. Entah kenapa aku benar-benar menangis. Abang memelukku sambil menepuk bahu ku pelan. Disitu aku sungguh menyadari betapa cinta dia padaku. Betapa dia ingin yang terbaik untukku.

Tapi hatiku tetap terasa kosong. Aku tidak tahu mengapa. Aku tidak tahu bagian apa yang hilang. Aku berusaha menambalnya tapi tetap tidak bisa. Aku tersenyum seakan tidak ada apapun yang terjadi di depannya. Dan aku akan berubah sebagai diriku yang lain tanpanya. Menangis tanpa tahu kenapa air mataku terus menetes.

Sekarang aku sudah terbiasa dengan kursi rodaku, tanganku semakin kuat membantuku menopang tubuh saat aku hendak berpindah dari kasur ke kursi roda. Aku sudah lebih mandiri dari pada dua tahun lalu. Tapi hatiku masih terasa kosong. Aku masih menangis di belakang abang.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang