Ningsih tersenggal. Asih yang sedari tadi khusyuk melirihkan syahadat di telinga kanan wanita itu mengangkat wajah. Ia tahu saat ini akan tiba akhirnya. Namun tetap saja jantungnya terasa direnggut tatkala mata sembabnya beralih ke layar monitor. Deretan kurva yang tampak di sana kini telah berubah bentuk jadi garis lurus.
Tak lama kemudian dokter dan perawat berdatangan. Seperti yang mereka katakan sebelumnya, sudah tak ada lagi yang bisa dilakukan untuk Ningsih. Kali ini mereka memang tak melakukan apa-apa selain melepas satu per satu semua peralatan medis yang terpasang di tubuh wanita itu.
Asih hanya membalas ucapan bela sungkawa dari dokter dengan anggukan. Tenggorokannya tercekat. Ia sungguh tak ingin membebani kepergian ibu angkatnya dengan tangis. Namun, air matanya memaksa luruh. Terlebih ketika seorang perawat menutupi wanita itu dengan kain putih. Separuh jiwanya terasa hilang.
Ningsih memang bukan ibu kandungnya. Namun bagi Asih, wanita itu adalah segalanya. Masih lekat di ingatan Asih pertemuan pertama mereka di stasiun hampir dua puluh tahun lalu.
Kala itu ia baru berusia enam tahun. Ia dan ibunya hendak kembali ke Solo setelah berhari-hari di Jakarta, menyusul sang bapak yang sudah hampir setahun tak pulang-pulang. Berbekal informasi seadanya dari tetangga yang juga merantau ke Jakarta, setelah mencari ke sana-kemari mereka akhirnya menemukan Slamet di sebuah alamat, sedang menimang bayi laki-laki.
Asih kecil belum sepenuhnya memahami yang terjadi saat itu. Ia hanya tahu pertemuan itu diwarnai pertengkaran. Tak hanya antara ibu-bapaknya, juga melibatkan seorang perempuan muda.
Sepanjang perjalanan hingga tiba stasiun ibunya tak berhenti menangis. Dan, ia hanya mengikuti langkah wanita itu tanpa berani bertanya, sampai kemudian sang ibu pamit membeli minuman dan memintanya menunggu di bangku peron. Namun, setengah jam berlalu, wanita itu tak juga kembali.
Kelintaran orang-orang menyulitkan matanya menemukan sosok sang ibu. Asih kebingungan di tengah keramaian. Ia mulai menangis.
"Kau kenapa, Nak?"
Asih masih mengingat jelas pertanyaan Ningsih waktu itu, disertai sebuah sentuhan lembut di puncak kepalanya. Ia takut berhadapan dengan orang asing. Namun, entah mengapa, ia menurut saja ketika wanita itu menuntunnya ke pos keamanan.
Di sana, Asih ditanyai namanya, nama ibunya, dan pertanyaan-pertanyaan lain. Namun, tak semua pertanyaan mampu ia jawab. Setelah itu, beberapa kali ia mendengar namanya dan nama ibunya di pengeras suara. Ningsih bilang pengumuman itu terdengar di sepanjang peron, ibunya pasti segera datang.
Asih tak tahu persis berapa lama dirinya menunggu. Ia hanya melihat jarum jam di dinding pos keamanan terus bergerak seiring pergerakan matahari yang menggantung di langit Jakarta. Namun, sang ibu tak kunjung tampak.
"Sekarang Asih ikut Pak Polisi dulu ya!" tutur Ningsih sebelum petugas kepolisian membawanya ke dinas sosial. "Jangan takut, Asih akan dibawa ke tempat yang aman."
Asih tak tahu harus menjawab apa. Semuanya begitu membingungkan baginya.
"Kalau Ibu Asih tidak datang juga, Ibu yang akan jemput." Ningsih meletakkan telapak tangannya di depan dada. "Ibu janji, Nak."
Ningsih menepati janjinya. Wanita itu datang bersama suaminya. Awalnya hanya sekadar menengok, membawakan Asih pakaian, makanan, minuman, dan mainan. Ia bilang suaminya sedang mengurus segala persyaratan agar Asih bisa tinggal di rumah mereka.
"Mulai hari ini, Asih akan tinggal sama Ibu dan Bapak di sini," ucap Ningsih saat VW Combi yang dikemudikan suaminya memasuki pelataran sebuah rumah berarsitektur tahun 80-an.
Sejak hari itu, di sanalah Asih melewatkan hari demi hari. Kasih sayang Ningsih dan suaminya membuat hati Asih tak lagi bertanya-tanya ke mana sang ibu pergi hari itu. Terlebih lima tahun kemudian, selain sekolah Asih juga sibuk mengasuh adiknya. Begitulah yang Ningsih katakan ketika membawa pulang seorang anak. Tahun berikutnya, setelah bapak angkatnya meninggal dunia, adik Asih bertambah dan terus bertambah. Apalagi setelah papan nama bertuliskan "Panti Asuhan Al-Kautsar" terpasang di dekat gerbang.
"Ibu ingin panti asuhan tetap berdiri meski nanti Ibu sudah tak ada lagi," ungkap Ningsih seminggu lalu, beberapa jam sebelum dilarikan ke rumah sakit karena sesak napas dan nyeri dada.
"Insyaallah panti ini akan terus berdiri, Bu," balas Asih sambil menyodorkan secangkir wedang jahe kesukaan ibu angkatnya itu. "Ibu juga nggak akan ke mana-mana, selalu ada di rumah ini. Ibu akan melihat Asih menikah. Ibu juga akan menyambut cucu-cucu Ibu kalau Asih pulang ke sini."
Ningsih mengaminkan sembari mengusap puncak kepala Asih. Usapan yang terus membekas bagi Asih hingga saat ini. Sama seperti percakapan mereka kala itu, kini terus terngiang-ngiang di telinganya.
Bagi Asih, pesan terakhir Ningsih harus ia wujudkan. Namun, bagaimana dengan rencana pernikahannya bulan depan?
******
Hai, readers.
Ketemu lagi di cerita baru nih.
Semoga suka yaaa.
Cerita ini saya tulis untuk memenuhi tantangan menulis di komunitas Forsen.
Hanya akan ada 10 part untuk cerita ini. Semoga ada takdir baik untuk cerita ini bisa dibukukan seperti Musim Dingin di Izmir, hehe.
Oya, krisan-nya seperti biasa. Ditunggu yaaa
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Tepian Rasa
General FictionKinasih sedang menyusun rencana pernikahan dengan Pram ketika ibu angkatnya meninggal. Beberapa hari sebelumnya, sang ibu angkat berpesan untuk menjaga kelangsungan panti asuhan, tempat dirinya tinggal selama ini. Ia ingin menunaikan pesan terakhir...