Gatawu

28 2 0
                                    

Saya benar tidak tahu, kawan. Sejak kapan perasaan yang benar-benar menyelimuti pikiran ini memilih untuk menolak masuk kedalam otak saya. Kawan sudah tahu jelas siapa teman diskusi saya. Ya, tembok atau dinding atau penyekat atau apalah terserah kawan sebut itu. Ia memilih menutup mulutnya tidak bersuara dan membiarkan otak mati punya saya. Jangan anggap saya masa bodoh atas semua ini, jangan. Saya pun heran mengapa ia memilih bungkam. Kesal saya kawan. Bingung saya kawan. Banyak sekali yang ingin saya sampaikan. Namun dinding tak sokong saya supaya saya jadi harum seperti yang saya mau. Dinding tidak jahat. Dinding hanya tak bersuara makanya saya tidak mau menyimpulkan dulu, kawan. Bego banget saya, kawan. Hanya butuh dinding untuk berdiskusi. Apa karna hari lalu pernah saya tonjok keras dia? Ya masa ambekan amat.

Begini kawan, saya hanya mau tahu bagaimana caranya bertanya kabar dengan tidak bertanya kabar. Sampai sini kawan paham?

Saya mau tahu apa rambutnya masih dipanjangkan atau bagaimana? Apa yang dia lakukan setelah selesai dalam aktivitas harian? Apa hatinya masih terluka? Ah jelas masih, saya penyebabnya. Jangan tanya yang itu. Kemana ia mengungsi kala itu? Apa yang ia katakan pada orang-orang perihal ini? Saya tahu dia kira saya tidak peduli. Entah kawan mau sampaikan ini atau tidak terserah kawan saja. Namun, jika dia tahu saya pertanyakan semua ini, saya tahu dia akan berusaha untuk tidak peduli. Jadi kawan, jangan ditanyakan deh.

Kawan, dia kira cuma dia yang punya rindu. Saya juga punya. Namun, ini semua resikonya. Karna yang buat ini semua ya saya sendiri. Doakan saya kawan, supaya dinding berhenti bungkam.

LovableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang