Happy reading...
Malam itu pukul 19.30... Stelle terbangun dari tidurnya. Tiba tiba rasa sesak yang coba ia redam dengan tidur itu kembali lagi. Sakitnya hanya hilang disaat ia tak sadarkan diri dan akan kembali lagi tanpa berubah sedikitpun menjadi lebih tenang sedikit saja saat ia tersadar kembali, haruskah selamanya ia tak sadar saja agar ia tak merasa sakit lagi? Begitu memilukan. Aura kesedihan dapat ia lihat di dalam kamar yang gelap remang remang itu. Saklar lampu belum dinyalakan.
Dalam keremangan dan kesepian itu, tiba tiba ia sangat merindukan pria itu, orang yang sudah berkontribusi besar dalam menyumbangkan rasa sakit dihatinya. Ia tidak ingin rindu, tapi ia sangat rindu dengan Carlos. Ingin sekali ia mendekap pria itu dan memeluknya erat, entah ada apa dengan dirinya?
Ia begitu merindukan Carlos, wajah dinginnya, cara bicaranya, wangi tubuh nya. Tapi kemudian ia disadarkan lagi oleh kenyataan jika saat ini suaminya itu mungkin sedang berduaan bersama Adelle.
Stelle melangkahkan kakinya keluar dari kamar itu. Sakit diperutnya tiba tiba datang kembali menghampirinya. Ia meringis saat mengingat kata kata dokter jika ia tak boleh banyak fikiran, karna itu akan mempengaruhi bayi dalam kandungannya. Apa mungkin bayi itu tau jika saat ini ia sedang sedih? Apa bayi itu ikut merasakan sakit dihatinya? Apa bayi nya tau jika ibu nya sangat hancur saat ini?
Ting...nong...(suara bell)
Stelle melangkah ke arah pintu. Ia tau pasti Carlos dan Adelle sudah pulang. Ia pun membuka pintu untuk kedua orang yang sukses membuat harinya hancur sehancur-hancurnya hari ini. Hari terburuk dalam hidupnya. Tidak, bahkan Stelle tidak tau apakah besok masih sama buruknya atau bahkan lebih buruk lagi. Yang jelas saat ini, rasa sakit mendominasi hati dan fikirannya.
"Kalian sudah pulang?" Pertanyaan basa basi dari Stelle.
"Hmm, apakah kau baik baik saja Stelle? Wajah mu tampak pucat" ucap Adelle sambil menyentuh kening Stelle untuk mengecek suhu tubuhnya. Carlos yang sedari tadi hanya diam kini menatap Stelle, ada rasa khawatir di matanya saat melihat wajah pucat Stelle. Tapi ia tak mengatakan apa apa. Ia biarkan saja Adelle yang memeriksa tubuh Stelle."Kau sedikit demam, apa kau sangat kelelahan?" Tanya Adelle lagi sambil mencoba membawa Stelle duduk ke arah sofa.
"Aku baik-baik saja" jawab Stelle lemah. Sakit di tubuhnya tak sebanding dengan sakit dihatinya. Jika dokter adalah penyembuh rasa sakit, maka kedua manusia yang berprofesi dokter di depannya ini adalah kebalikannya bagi Stelle
"Mengapa akhir akhir ini kau gampang sakit? Apa kau diam diam bekerja lagi di butik?" Kini suara dingin Carlos bertanya dan menuduh itu berhasil mengalihkan perhatian kedua gadis yang ada disana dan menatapnya. Tentu dengan tatapan berbeda. Jika tatapan Adelle adalah tatapan biasa saja, maka tatapan Stelle itu tatapan penuh menyakitkan. Jika saja tatapan bisa membunuh, maka sudah dipastikan ia akan terbunuh sendiri dengan rasa sakitnya dan membawa pria itu bersamanya. Mengapa Carlos suka sekali membuatnya terluka? Pria itu melarangnya dan sudah pasti ia tau jika Stelle tak akan melakukan itu, tapi ia masih bertanya seolah-olah ingin semakin membuat Stelle terlihat menyedihkan.
"Aku tidak bekerja lagi. Kau yang melarangku bukan" Itu bukan pertanyaan tapi pernyataan yang ingin Stelle tekankan.
"Baguslah, lalu apa kau tidak makan tepat waktu lagi?" Carlos kembali bertanya
"Aku ketiduran, dan aku belum memasak" jawab Stelle pelan sembari menunduk. Sekarang ia yakin Carlos pasti akan semakin kesal dengannya. Tadi pagi ia tak memasak sarapan, dan malamnya pun sama. Jika ini rumah sakit, atau jika saja istri bisa dipecat dengan mudah, mungkin saja Carlos akan memecatnya saat ini juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Accident With Prospective Brother In Law (Proses Terbit)
General FictionDi private secara acak. Follow sebelum baca... Bagaimana jika kau terjebak bersama calon kakak iparmu di malam sebelum pernikahanmu akan dilaksanakan? Lalu bagaimana rasanya ketika yang akhirnya menikah dengan mu itu bukan kekasihmu melainkan kakak...