7. DAZZLING NIGHT SKY

19 1 5
                                    

Cerahnya cahaya mentari memasuki kamar tidur itu, terangnya menggangu insan yang tengah bermanja dengan balutan selimut maroonya. Anna mengerjapkan matanya, kepalanya seakan berputar dan terasa sangat sakit. Ia berusaha mengingat - ingat kejadian kemarin malam namun yang bisa ia ingat hanya prom-keluarga Hannum-dan taman.

Ia mencoba bangkit dengan susah payah, entah apa yang membuatnya begitu pusing hingga tak mampu fokus. Dari kejauhan terdengar kebisingan yang datang dari arah bawah, Anna tau betul apa itu. Itu pasti sang ayah yang tengah berdebat dengan matata.

Anna bangkit dari kasurnya dan berjalan ke pintu, terpintas di otaknya keraguan namun ia tepis. Anna membuka pintu kamarnya yang mewah, dan seketika suara perdebatan itu memenuhi pendengaranya. Anna terpatung, disana seluruh keluarganya berkumpul bersama membahas masalah pesta tadi malam.

Anna mengurungkan niatnya, walau ia tak mengingat apapun ia tau betul ia berada dalam masalah besar. Jadi ia berbalik kekamaranya namun mirisnya, Elios a.k.a kaka sulungnya tengah bersandar di dinding tepat di sampingnya "where the hell you think are going?".

●●●

Estelle pergi menghampiri Esivan sehabis mengganti gaunya, acara tadi mungkin membosankan untuk sang kaka, tapi untuknya itu luar biasa. Karena ya kapan lagi ia bisa dengan bebas mengobrol dengan orang tanpa mempedulikan kasta, lagi pula ia jadi punya teman baru jadi apa salahnya ya, kan?.

"Brevis kau dimana?" Esivan yang tengan duduk dalam tenda berjaring, hanya menyeruput kopinya dengan sengaja dibuat keras. "Hhh, sudah? Menyenangkankah?" Estelle melongo, pasalnya sejak kapan kakanya jadi bertutur kata baik padanya.

"Ya-ya, i-itu cukup menyenangkan" Esivan menolehkan kepalanya. "Lalu untuk apa kau masih berdiri disitu? Sini cepat Vitium". Seketika Estelle menyesal berharap, ia memasuki tenda itu juga dan duduk di sampingnya.

Taman belakang rumah mereka memang kurang terawat, hal itu karena sang bunda yang telah tiada. Mawar rimbun yang biasa menghiasi pagarnya sekarang sudah tak beraturan, rumputnya pun sudah sepanjang lutut. Biasanya sih dibersihkan, sayangnya selama 5 tahun terakhir tak pernah ada acara yang mengharuskan mereka memakainya.

Sebenarnya bila dirawat mungkin taman ini akan memenangkan piala oscar. Ada danau pribadi dengan berbagai jenis tumbuhan,ikan dan angsa, pepohonan yang rimbun , suasana yang cocok untuk menonton matahari tenggelam dan jangan lupakan gazebo yang terletak di tengahnya semakin menambah kesan aesthetic*.
*gk tau tulisanya*

Esivan menyadarakan lamunan Estelle dengan menyodorkan sepertiga lebih laporan yang ia buat. "Tugasmu tinggal mengambil fotonya, aku sudah selesaikan semuanya." Estelle tertegun "tunggu, maksudmu Brevis, aku yang harus mencari kunang kunangnya?" Esivan menatap polos mata Estelle mengisyaratkan 'yaiyalah dari tadi siapa yang kerja?'.

Estelle keluar dari tenda sambil membawa lentera, bukanya tak mampu membeli senter. Hanya saja Esivan paling suka mengoleksi barang antik. Estelle berjalan menepis rerumputan lebat yang menghalangi jalan, lembabnya udara ditinggalkan hujan yang datang dan pergi.

"Dasar tak berperasaan, pasti dia menertawaiku sejak tadi. baju tidurku kan tinggal piyama yang ini!". Estelle terus mengumpat di sepanjang jalanya sambil menarik gaun tidur nya yang memang berbentuk seperti gaun cinderella bedanya hanya yang ini piyama. hingga, rerumputan itu tiba - tiba habis dan munculah danau yang sudah tak terawat itu. Walaupun tak terawat keindahanya masih terpancar dibawah sinar rembulan. Estelle menatapnya kagum, walau ia tak begitu ingat akan sosok sang bunda namun ia tau betul ia sering kesana bersamanya.

Umbra Albis : The Legend Of Nine Tailed Fox Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang