10. ONCE LUNATIC LANDS (3)

5 1 0
                                    

"SIALAN" Esivan melempar kasar seluruh pakaianya yang penuh dengan semut kesegala arah namun, tentu saja ia masih mengenakan dalaman. "Dasar gila, untung saja aku tak jadi duduk mengampar tadi" Esivan meninggalakan bajunya dan memasuki kamar mandi.

Ia terdiam sebentar memikirkan adik autisnya itu 'bagaimana kalau ada buaya di danau itu, mati kah dia?' Pikirnya namun langsung ia alihkan dengan memasuki tempat shower, 'Ya baguslah'.

Ia menyalakan air hangat dan mulai kembali tenggelam dalam pikiranya 'kurasa aku melewatkan sesuatu dalam proposal itu' lalu kembali ditepisnya 'Yah itu sudah jadi urusanya sekarang'. Pembatas kaca di sekelilingnya sudah berubah mengembun menandakan lamanya waktu ia mandi.

Esivan terus mencoba untuk menikmati mandi malamnya hingga perlahan perasaanya seakan berbicara kepadanya bahwa adiknya tidak sedang baik - baik saja. Sejujurnya sejak tadi perasaanya memang sudah tak enak, dimulai dari dirinya yang tanpa sengaja menginjak sarang semut hingga sekarang mandipun semakin tidak enak. Kenyataanya walaupun Esivan sangatlah membenci Estelle mereka tetaplah saudara kembar, sehingga telepati hati seperti ini mudah saja dilakukan. Contohnya seperti saat Estelle di keroyoki oleh kaka kelasnya kemarin, jika saja Esivan tak langsung menangkap sinyalnya maka mungkin keperawanan adiknya sudah hangus begitu saja.

"Ayolah Esivan, Apasalahnya membiarkan ia mati?! Lagipula ayah juga akan berterima kasih, setidaknya ia tak mati sebagai jalang". Esivan segera menyudahi mandinya, ia memakai bathrobe biru donkernya sambil mengusap kepalanya lalu berlalu kedalam kamar dan menyalakan penghangat.

Pintunya diketuk dan seorang Maid memberinya secangkir cokelat panas yang sebelumnya ia minta. Ia menerimanya kemudian meletakanya di meja santainya di sebelah jendela yang menghadap ke taman belakang, karena memang letak kamar Esivan berada di bagian belakang mansion. Dan juga kamarnya adalah yang terbesar bahkan dari kamar sang kepala keluarga Green itu sendiri, sampai sekarang tak ada yang tau mengapa kecuali sang sulung sendiri.

Esivan berjalan menyalakan gramofonya dan memutar lagu kesukaanya Simphony No 9 karya Ludwig Van Bethoven . Kemudian ia duduk di meja santainya sambil meluruskan kakinya menikmati alunan musik sambil sesekali menyesap cokelat panasnya. Rasa tenang begitu menyeruak kedalam dirinya, hingga perasaan tak enak itu datang kembali.

Esivan memijit dahinya rasanya ia menjadi gila, walau begitu ia tetap berusaha mengistirahatkan tubuh dan pikiranya karena memang tuntutan tugas sekolah, perusahaan, dan pribadi begitu menyiksanya hingga ia tak mendapat kesempatan untuk beristirahat, namun sayangnya hatinya tidak mau menurut. Lama ia duduk disana akhirnya iapun membuka matanya karena tak kunjung menemukan titik terang pada perasaanya. Rasanya ia hanya tidur sebentar namun pada jam di dindingnya menujukan waktu dini hari.

Dengan enggannya, Esivan bangkit dan menutup jendelanya namun netranya menangkap sesosok pria kecil yang dibawa oleh para penjaga rumahnya. Ia tak ambil pusing,  baginya hidupnya adalah yang pertama dari segala hal.

Esivan beranjak dari kamarnya kemudian berjalan dengan sangat enggan ke wilayah timur mansion tepatnya sebuah menara yang berisikan kamar milik adik dungunya yang rela belajar mati matian hanya untuk mendapatkan kamar diatas menara. Sebutlah dia bodoh, namun dibalik itu Esivan selalu yakin kalau adik tercintanya itu tak mungkin secacat itu. Lebih tepatnya ia berpura - pura.

Esivan menaiki tangga melingkar di menara itu dengan malas, kemudian mengetuk pintunya. Diam dan hening tak seperti biasanya. Ia mulai tak sabaran dan menggedornya. "OY VITIUM!!!! TUGASNYA SUDAH SELESAI BELUM???".

Lama ia menunggu namun tak kunjung ada jawaban dari dalam. "Keluar sekarang atau kupenggal bonekamu!". Esivan menjadi bosan, ia membuka dengan paksa kamar itu dan netranya tak menangkap siapapun.

Umbra Albis : The Legend Of Nine Tailed Fox Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang