11. ONCE LUNATIC LANDS (4)

6 0 0
                                    

"Esivan". Sang kaka menutup matanya ketika dengan sayup telinganya mendengar namanya terpanggil. 'Sudahkah? Hanya seperti itu ia mati? Bagitu saja?'.

Pikirnya terus bergelut. Namun lama ia mencari respon teriakan kesakitan, ia malah menemukan wajahnya terasa ditangkup oleh tangan seseorang.

"Esivan" suara lembut adiknya itu terdengar semakin jelas dan lirih.

"Esivan" semakin jelas dan dekat, sungguh walau sisi hibridanya senang. Jiwa kemanusiaanya tetaplah berjalan, ia tak punya hati hanya untuk melihat tubuh adiknya yang tak bernyawa tergeletak bersimbah darah diatas es atau bahkan didalamnya?

Bukanya membuka mata dan menghadapi realita, Esivan malah menutup matanya lebih rapat. Terbayang dikepalanya wajah bangga sang ayah namun, kenapa hatinya sakit?.

"et non solum quia nos unum sumus" Esivan otomatis membuka kedua netranya dan dilihatnya, adegan dimana dark elf itu melesatkan tombak cahayanya seakan dipause.

Dan disana, adiknya duduk dengan anggun sambil mengelus seekor rubah putih dalam pangkuanya.

Gaun tidur penuh lumpurnya telah berubah menjadi gaun perak yang bersinar mewah dengan teksturnya yang seperti kelopak bunga edelweiss.

Kedua kaki dan tangan adiknya seperti dirantai. Salah satu rantai itu menghubungkanya dengan si rubah dan ujung satunya lagi tenggelam kedalam danau. Itu seakan mengisyaratkan bahwa Estelle lah rantai itu sendiri.

Gadis itu melihatnya datar dengan tatapan yang tak bisa diartikan, samar samar ia mendengar lagi ada yang memanggil namanya.

Suara panggilan itu terus - menerus terdengar dan menjadi sangat keras hingga, Estelle tersenyum kepadanya disertai rubah dipangkuanya menoleh garang seakan siap membunuhnya.

Detik berikutnya ia berkedip dan seluruh pemandangan dihadapanya pun berubah drastis. Dilihatnya dark elf itu menggenggam tombaknya dan mengarahkanya padanya. Wajahnya menyiratkan kemurkaan.

Esivan masih belum bisa mengerti dengan situasi sekitarnya. Namun ia segera mengerti ketika indra pada wajahnya kembali merekam tangkup lemah seorang gadis.

Matanya bergerak ke kirinya menangkap Estelle tengah menatapnya dengan mata berbinar dan senyum bodohnya dengan polos.

"Hei Brevis, kau tau? Aku dapat mengerti kelemahan bodohmu! it-" Belum juga menyelesaikan kalimatnya, senyum polosnya itu harus ternodai dengan darah yang terbatuk keluar dari kerongkonganya.

Tanpa ragu Esivan memeriksa tubuh adiknya. Dan tebaklah, tombak bercahaya itu hanya berjarak satu sentimeter dari jantung miliknya, bila saja sang adik tak menahanya Dengan tubuhnya.

Esivan--nafasnya tercekat. Melihat terkejut tubuh ringkuh adiknya yang dadanya telah tertembus tombak. "Apa? Apa in- tap- ken-a-pa?" Esivan bergerak gelisah, air matanya jatuh begitu saja.

Dan tanganya langsung menggapai kesepuluh jari jari lentik kembaranya itu lalu menciumnya dan menatapnya penuh tuntut. bagi Esivan, Estelle itu tak pantas mati untuk membayar kebencianya, itu terlalu mudah.

"Kau pasti tak bisa meninggalkanku begitu saja, karena kau lemah pada pikiranmu sendiri, ben-uhuk-ar bukan?" Estelle mengatakanya dengan nada jahilnya.

Esivan menatapnya datar walau air matanya terus turun. "Ya, dan kau tetaplah cacat bahkan ketika sekarat".

Senyum hangat itu semakin berkembang, mengisahkan mata penuh sayang sang adik yang begitu memuja sosok kakanya. Tiba - tiba saja Dark elf itu mencabut tombaknya dari tubuh Estelle dalam sekali hentak.

Menyisakan lubang besar ditengah dadanya. Gadis itu tak punya pilihan lain selain terjatuh kedalam dekapan kakanya.

Esivan memeluk Estelle dan mengelus rambut halusnya. "Katakan, siapa yang terpilih" ucapnya menuntut sambil berbisik dengan Alpha tonenya pada sang adik. Tanpa ragu, dengan seluruh tenaga terakhirnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 15, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Umbra Albis : The Legend Of Nine Tailed Fox Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang