Gue yakin kalian tau cara menghargai suatu karya. Iya betul, dengan klik ikon bintang di sisi kiri bawah.
Selamat membaca
●●●
Suara dari lagu Story of My Life milik One Direction yang memang sengaja diputar---mereka terkadang selalu memutar lagu jika sedang di kamar---tidak membuat kedua bersaudara itu terganggu.
"Ge!" panggil Fadel tiba-tiba, membuat yang dipanggil sedikit terkejut karena sedang fokus pada game online.
"Apa sih?" tanyanya sedikit sewot.
"Anjir, biasa aja kali," ucap Fadel, "gue baru inget, gue pernah ngirim foto itu ke mama," lanjutnya, membuat Farel menoleh.
"Biar apa?"
"Gak tau lah. Minta mulu, udah didiemin malah minta lagi. Ya udah, gue kasih yang itu," jawab Fadel.
"Berarti yang ngirimin itu ke bibi tuh ... mama?"
"Bisa jadi."
•••
Foto yang dikirim seseorang kepada Kirana beberapa hari ini, membuat Kirana terganggu, tetapi ia belum memberitahukan kepada Hayden. Kirana pikir, ini hanya orang iseng, tetapi semakin lama, Kirana pun curiga. Apa motif orang itu mengiriminya foto?
Ini, foto kelima yang dikirim oleh orang itu. Ahh, Kirana pun tidak yakin dari orang yang sama, karena nomornya pasti berbeda ketika mengirim foto.
Tidak berniat melihatnya, tetapi atensinya beralih dengan kalimat yang disertakan oleh pengirim itu.
Al. Aldave Zhu.
Dengan cepat, Kirana langsung membukanya. Tidak. Tidak mungkin, Al sudah meninggal. Ia sudah mengunjungi makamnya. Lalu, maksudnya apa?
Kirana langsung menuju ruang kerja Hayden. Membuka pintunya dengan sangat kencang, membuat Hayden dan Dave yang sedang bercanda pun menghentikan aktivitasnya.
"Mama," gumam Dave yang terkejut dengan kedatangan Kirana.
"Ya ampun, Na, kamu mau masuk ketuk dulu atau apa kek, jangan langsung masuk aja," gerutu Hayden kesal sama-sama terkejut.
Kirana tidak menggubrisnya, ia langsung berjalan ke arah Hayden. Memberi isyarat kepada Dave agar keluar. Dave mendengkus kesal dan berjalan keluar ruang kerja Hayden. Ini momen yang jarang ia dapatkan, tetapi kenapa sang Mama menyuruhnya keluar.
"Ada apa sih, Na?"
"Mas, ini---" ucapan Kirana terpotong.
"Bukan, Na," potong Hayden cepat, "itu bukan Al, itu Fadel. Inget 'kan ini waktu kita kejebak macet, sedangkan Fadel udah lapar? Jadinya, kita cuma ke warung pinggir jalan dan cuma mie instan doang makannya," ucap Hayden mengingatkan.
"Tapi, kenapa yang ngirim punya foto ini?"
Hayden menelan ludahnya. "Ya ... gak tau," jawabnya. Ia benar-benar tidak tahu harus menjawab apa.
"Kok lama-lama ngeri juga, ya? Dari mana coba dapet foto anak-anak?"
"Udah, Na, nanti aku nyari tau."
Kirana menghela napas lega, setidaknya ia masih percaya kepada suaminya. "Oke. Ya udah, aku keluar lagi."
Sekeluarnya Kirana, Hayden menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Bernapas lega karena Kirana memercayainya.
Hayden bangkit, ia ingin menemui seseorang. Ia ingin menyelesaikan masalah ini. Ya, menurutnya ini sudah masuk ke dalam kategori masalah, karena telah menganggu ketenangannya.
Sesampainya di suatu tempat, Hayden mengetuk pintu rumah seseorang itu. Cukup lama mengetuk, akhirnya ada seseorang yang membukanya.
"Mau ke siapa?" tanya seseorang yang bisa ia simpulkan adalah asisten rumah tangganya.
Baru saja membuka mulutnya, seseorang yang ia cari ternyata sudah ada. Hayden menatapnya tajam, seolah memberi peringatan.
"Bibi masuk aja!" seru orang itu. Seseorang yang dipanggil Bibi pun mengangguk.
"Ngapain ke sini?"
"Berhenti kirim foto Farel sama Fadel ke istri gue!" seru Hayden.
"Gue bahkan gak punya foto mereka."
"Lo! Jangan main-main sama gue!"
Orang itu tersenyum remeh. "Gak ada kerjaan gue kirim foto mereka ke istri lo. Tanya aja ke mantan istri gue," ucap orang itu dan menutup kembali pintunya, menyisakan Hayden yang menahan amarah.
"Sial," umpat Hayden.
Tidak mau membuang waktu, Hayden langsung menuju kediaman seseorang. Di sana, Hayden mendapati sang pemilik rumah yang sedang bersantai. Langsung saja ia memasuki pekarangan rumahnya.
"Berhenti kirim foto Farel dan Fadel!" seru Hayden dan membuat orang itu mendongakkan kepalanya. Cukup terkejut dengan kedatangan Hayden yang tiba-tiba.
"Gak," jawab wanita itu.
"Berhenti kirim foto mereka!" seru Hayden tegas.
"Gak akan pernah."
"Gue mohon, berhenti kirim foto mereka. Biarin mereka bahagia sama gue," mohon Hayden dengan suara yang lebih rendah, "biarin gue nebus semuanya, please."
"Gue gak mau mereka bahagia sama lo. Gue mau mereka bahagia sama gue atau sama mantan suami gue," sahut wanita itu.
"Gue mohon, gue gak mau rasa bersalah itu terus menghantui gue."
"Ya itu salah lo. Biarin mereka sama kita lagi."
"Tapi kalian yang selalu membuat luka ke mereka. Gue gak mau mereka terluka gara-gara lo."
"Hanya luka kecil," sanggah wanita itu.
"Luka kecil lo bilang? Hampir sembilan tahun kalian gak ngasih kabar ke mereka dan sekarang lo bilang itu luka kecil?"
"Mereka hak gue dan mantan suami gue."
Rahang Hayden mengeras. Ia emosi, sungguh. "Yifei! Lo udah gak berhak lagi. Terlalu banyak luka yang kalian buat. Dan ya, gue baru denger pengakuan Farel sama Fadel selama bareng kalian." Kalimat Hayden yang terakhir membuat Yifei menoleh ke arah Hayden.
Hayden melanjutkan, "Ternyata dulu, kalian jarang di rumah, jarang temenin Farel dan Fadel hanya dengan alasan kerja. Bahkan, di hari pembagian rapor pun, kalian gak dateng---"
"Stop!" seru Yifei.
"Kalian ternyata sering marahin mereka cuma karena hal sepele di umur mereka yang banyak penasaran dengan hal baru. Dan kalian---"
"Gue bilang stop!"
"Dan kalian suka pukul mereka."
●●●
TBCTernyata itu Yifei, kawan
media: visualisasi Farel. but, gue ga matok kalian harus memvisualisasikan dia. seenaknya kalian aja.
Salam dari jiejie-nya Song Yaxuan dan Liu Yaowen;)
KAMU SEDANG MEMBACA
Family or Enemy
Teen FictionIT'S BROTHERSHIP STORY, NOT BL❗ [SELESAI] Ada tawa yang menggema bersamaan dengan tangis yang mengiris. Ada hati yang puas, tetapi ada luka yang juga meluas. Tentang jatuh, patah, dan kembali bangkit, meskipun cukup sulit. Tentang mereka yang sempa...