Bila Senja Tiba

116 9 3
                                    

"Mereka tak seperti kita, nak," jelas Karan saat Gani  puteri kecilnya, terus bertanya tentang larangan yang berlaku di desa ini bila senja tiba. Sementara Bari, sang kakak yang berusia 5 tahun lebih tua, tampak kesal mendengar adiknya terus-terusan menanyakan hal yang sama setiap harinya. Bari tahu betul bahwasanya membicarakan larangan itu adalah hal yang tabu. Apalagi ia sudah kehilangan Suli, ibunya, 5 tahun yang lalu saat ia seumuran Gani sekarang. Ketika itu Suli baru saja melahirkan Gani, sebelum sosok-sosok misterius itu menculiknya dan hingga kini tak pernah kembali.

Di desa ini, sebelum senja menjelang, para tetua dan beberapa orang dewasa akan naik bukit untuk melakukan ritual rutin. Sesampainya di puncak, mereka akan duduk bersila membentuk bentangan hingga beberapa meter, dengan posisi berhadap-hadapan dengan matahari. Mereka kemudian merapalkan doa entah pada siapa. Yang pasti itu sebuah permohonan atas keselamatan mereka di malam hari dan agar tak ada penduduk desa yang hilang atau ditemukan mati esok pagi.

Selesai melaksanakan ritual, mereka akan buru-buru menuruni bukit sebelum disergap gelap. Sesampai di kediaman masing-masing, semua suluh yang menyala di beranda akan dimatikan.  Pintu dan jendela akan tutup rapat-rapat. Tak boleh ada cahaya yang masuk ataupun keluar. Dan yang paling pantang, tak ada seorangpun yang boleh keluar rumah bila senja telah mencapai ujungnya. Meskipun kadang bulan bersinar terang, anak-anak tak diizinkan untuk sekedar mengintip geliat cahayanya.

"Aku tidak tahu darimana datangnya. Kata ayah mereka dari tempat yang cukup jauh, mungkin dari langit. Mereka berjubah hitam dan gerak-gerik mereka sedikit aneh," kisah Bari. Gani hening mendengarkan. Malam itu dan malam-malam berikutnya Karan memang meminta Bari untuk tidur bersama adiknya. Karan mulai khawatir puteri kecilnya yang mulai berlogika melakukan hal-hal yang membuatnya berada dalam bahaya, termasuk melanggar larangan itu.

" Apa kakak pernah melihatnya?" Gani memasang mimik penasaran meski itu tak akan terlihat oleh kakaknya. Ruang tidur mereka hitam pekat. Sepertinya bulan masih terjebak awan hitam, yang sedari sore enggan beranjak tapi tak kunjung pula menghujan.

Bari menggeleng. "Tidak," bisiknya. Perlahan, sebuah layar putih di dalam pikirannya, memutar ulang peristiwa silam ; sebab musabab kenapa larangan itu kemudian diberlakukan.

**

Kala itu Suli baru saja melahirkan. Di desa ini, setiap ada yang datang, akan diadakan upacara dan pesta kecil-kecilan. Apalagi Karan adalah orang yang begitu disegani meski usianya masih jauh lebih muda dibanding para tetua desa. Karan dulunya pemuda yang cekatan. Ia lihai bila menyelami kedalaman hutan utuk mencari makanan atau sekedar memenuhi keperluan rumahnya. Setelah menikah dan mendapatkan Bari, Karan masih sering ke hutan membawa puteranya itu bermain dan menangkap burung hantu.

Hingga suatu hari, tak satupun burung hantu yang hinggap di pandangan, sementara Bari akan terus merengek bila tak bisa membawa seekorpun untuk dibawa pulang. Karan memilih bertahan. Ia mengendong puteranya ke atas bukit untuk sejenak beristirahat dan menyaksikan matahari tenggelam, meski ia tahu Suli sudah mulai gelisah menunggu mereka pulang.

Dengan menggendong Bari di punggung, Karan semakin dalam memasuki hutan. Malam telah hitam sempurna begitu Karan menangkap samar-samar suara aneh seperti bergemuruh. Karan seketika menghentikan langkahnya sembari menyatukan pendengarannya dengan bebunyian alam. "Dari langit," bisiknya sendiri. Diturunkannya Bari dari punggung, lalu merapatkan diri pada sebatang pohon meranti. Suara gemuruh itu semakin jelas terdengar seiring pola angin yang tiba-tiba berubah dan tak menentu. Firasat tak baik menyergap pikiran Karan. Ia sama sekali belum pernah mendengar gemuruh itu. Yang pasti itu bukan pertanda akan turun hujan, tapi sesuatu yang lain yang bisa saja membawa mara-bahaya.

Karan kini berlari membelah hutan. Bari kembali digendong di punggung dan kali ini diikat dengan akar kering yang dililitkan ke perutnya.  Sementara suara gemuruh itu urung hilang dari pendengaran. Ia lupakan burung hantu dan rengekan Bari yang kini menjadi-jadi. Dalam pikiran Karan, ia hanya ingin cepat pulang dan memastikan bahwa tak ada sesuatu yang buruk terjadi di desa.

Conundrum : Kumpulan Cerpen dan Flash Fiction Misteri Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang