Kalania

83 3 2
                                    

Aku selalu tahu. Ia akan datang lalu memilih sebuah meja di pojok kiri kafe ini. Sisi itu memang sedikit terpisah dengan meja-meja lainnya, sehingga cukup nyaman untuk duduk menyendiri. Tepat di atasnya, menggantung lukisan Sarasvatī dalam ukuran besar. Tak pernah ku lihat ada orang lain yang duduk di sana, meskipun kafe ini sedang penuh pengunjung. Mungkin meja itu sudah ia pesan pada manager kami.

Seperti biasanya, ia akan segera duduk di sana. Mengeluarkan laptop dari sebuah ransel, kemudian ponsel, dan sebungkus rokok dari saku jeans dan kemejanya. Gayanya begitu tomboy meski ia terlalu cantik untuk tampil demikian. Kalau sudah begitu, ia tinggal menunggu secangkir cortado, sebelum masuk ke dunianya sendiri, dunia kata-kata.

Aku selalu memanggilnya 'mbak' penulis, meski aku hafal betul nama aslinya. Kalania, kutaksir usianya mendekati tiga puluhan. Ia kerap memanggil dirinya dengan panggilan kala. Yang pasti dia tak begitu hafal namaku. Tak masalah, karena saat itu aku belum cukup setahun menjadi penyaji di kafe ini.

Aku masih saja gugup, meskipun mungkin sudah ratusan cangkir cortado yang aku sajikan untuknya. Di mata pria sepertiku, Kala adalah sosok impian. Bukan semata fisiknya yang menarik tapi pilihan hidupnya untuk menulis. Bagiku, penulis wanita mewakili banyak hal : kepintaran, kesabaran, dan perasaan yang tajam.

Terkadang aku sangat ingin berbicara dengannya lebih dari sekedar basa-basi antara pelanggan dan penyaji. Selama ini aku hanya punya 5 detik untuk menyapa dan mempersilakannya, sebelum mengantarkan kopi pada yang lain. Dan dia, dia akan berjam-jam duduk di sana. Memungut kata-kata dari pikirannya, lalu mengetikkannya di laptop. Jelang tengah malam, ia akan pulang untuk datang lagi esok hari.

**

Di suatu malam, kesempatan itu akhirnya datang. Pos polisi di seberang jalan kafe kami dibom siang harinya. Alhasil, sepanjang malam kafe ini sepi. Tapi itu tak membatalkan jadwal kedatangan Kala.

Malam itu ada yang berbeda darinya. Ia sedikit tergopoh-gopoh dengan wajah yang tak setenang biasanya. Aku segera menyiapkan kopinya agar ia bisa lebih rileks. Yang pasti, yang ada dalam benaknya bukan masalah teror tadi siang tapi sesuatu yang lain. Aku yakin.

Aku mempercepat langkahku ke arahnya. Kusapa dia dan kutaruh kopinya seperti biasa. Ia tak terlalu menanggapi dan tak ada senyum yang ia balas dari bibir kecilnya. Kegelisahannya membuatku punya peluang untuk lebih dari sekedar basa-basi.

"Mbak kenapa? Malam ini agak pucet. Mbak sakit?" Itu kalimat terpanjang yang pernah ku ucapakan padanya.

"Sedikit," balasnya sembari buru-buru menyiapkan segala yang ia butuhkan untuk mulai menulis.

"Ada lagi yang bisa saya bantu mungkin mbak?" Tanyaku lagi.

"Aku pikir, ada orang yang mau membunuhku." Timpalnya. Sungguh jawaban yang tak pernah kuduga.

"Membunuh mbak? Maksudnya?"

"Akhir-akhir ini seperti ada yang mengikutiku. Aku tidak yakin tapi aku merasa seperti itu."

"Mbak lihat orangnya?"

"Tidak. Tapi terasa ada."

"Mbak sudah ke dokter?" Sambungku. Aku tak ingin ada jeda dalam obrolan ini.

Dia menggeleng. Jemarinya yang baru mulai mengetik, berhenti tiba-tiba. Tangannya dilipat di atas meja.

"Eh, maaf mbak saya jadi mengganggu." Aku berbasa-basi.

"Apa aku harus berhenti nulis ini?" Tanyanya, entah pada siapa. Padaku, atau mungkin pada dirinya sendiri.

"Memang kenapa mbak? Apa hubungannya dengan novel yang mbak tulis?"

Conundrum : Kumpulan Cerpen dan Flash Fiction Misteri Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang