Bab Satu -Pendahuluan

548 42 13
                                    

Sang Surya tak terlihat enggan untuk menampakkan diri. Semburat keemasannya menyirami bumi. Kapas-kapas putih hasil proses kondensasi tampak menggantung menemani. Pertanda bagus, hari ini akan cerah. Namun tak terlalu baik di saat bersamaan, 'siang ini akan terik' begitulah menurut seorang mahasiswa yang tengah berdiri di antara kerumunan orang-orang beralmamater kuning lemon.


"Hari ini cerah, ya," ucap sosok yang berdiri di sebelah mahasiswa yang tadi memprediksi bahwa siang ini akan terik.


"Cerah apanya? Siangnya panas, bro!" keluh si Pemprediksi.


"Kebanyakan ngeluh, ya! Cowok bukan?" balasan yang ketus.


"Ya santai dong!" Kevin, si Pemprediksi, tak kalah ketus membalas.


Rama mendecih kesal. Perhatiannya ia alihkan dari kawannya yang tak bisa diam ke sosok yang berdiri di atas mimbar dengan mic dalam genggaman.


"NEGARA INI HARUS DISELAMATKAN!"


Sorakan setuju memenuhi halaman luas dimana orang-orang beralmamater kuning lemon berkumpul.


"DEMOKRASI MULAI LUNTUR! PARA ELITE HARUS DISADARKAN!"


Sorakan yang sama kembali terdengar.


"TOLAK RUU KUHP!" Celetukan dari sudut kerumunan membakar semangat semua orang di sana termasuk mereka yang berdiri di atas mimbar.


Ya, hari ini adalah hari dimana mereka yang beralmamater kuning lemon meninggalkan tugas mereka sebagai mahasiswa. Hari dimana mereka akan meninggalkan kampus selama beberapa hari. Turun ke jalanan untuk menyuarakan aspirasi, menjadi wakil rakyat negeri.


Dipublikasikannya revisi undang-undang KUHP menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat luas. Pempublikasiannya yang tiba-tiba mengundang datangnya kontroversi. Para elite dianggap melupakan prinsip demokrasi dimana rakyat turut berpartisipasi dalam pemerintahan, sudah tentu termasuk perumusan suatu peraturan perundang-undangan. Perumusan yang tiba-tiba memunculkan anggapan bahwa demokrasi telah luntur dan dikalahkan oleh kekuasaan.


Mereka, sebagai manusia-manusia yang tumbuh bersama Nusantara, tak sepatutnya tinggal diam. Buat apa mereka belajar bertahun-tahun jika gagal menyelamatkan negeri sendiri pada akhirnya. Lagipula, tampaknya para elite membutuhkan seseorang untuk mengingatkan kembali perihal sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, menurut Abraham Lincoln.


Berpasang-pasang kaki akhirnya meninggalkan halaman rumah kesekian mereka, kampus. Sepatu yang membalut kaki-kaki mereka akhirnya menapakkan diri di atas aspal hitam bergaris-garis putih. Cahaya sang Raja Siang mengiringi setiap langkah mereka.


Nyatanya, tak hanya mereka yang beralmamater kuning lemon. Berbagai warna almamater tampak memadatin jalanan kota. Huruf-huruf berjajar di atas bidang yang terangkat tinggi-tinggi membentuk kalimat-kalimat penolakan.


'CUKUP ROMA!!! CUKUP!!! HENTIKAN SEMUA SANDIWARAMU ITU'


'JANGAN MATIKAN KEADILAN!!! MATIKAN SAJA MANTANKU!!!'


'CUKUP ATIKU WAE SING AMBYAR, NEGOROKU OJO'


Demo sama dengan ajang curhat.


'TUNTASKAN REFORMASI :)  TUNTASKAN SKRIPSI :('


Skripsi menghantui?


'GENJI KAMI BUTUH BANTUAN-MU'


Yang ini kayanya kaum Gagak.


'INI INDONESIA ATAU ISEKAI? KOK SAYA WIBU IKUT DEMO'


Ada yang bilang kalau wibu ikut turun, itu tandanya negara tidak baik-baik saja.


Well, tujuan mereka sebenarnya sama, 'membangunkan' para elite dari 'tidur' mereka.


Seiring berkurangnya jarak antara mereka dan markas para elite, sang Surya tampak semakin bersemangat. Ia menggantung tinggi di atas sana. Cahayanya yang kian memanas mengundang peluh untuk menyelinap keluar.


"Rama, bener kan siangnya panas!" Kevin kembali mengeluh. Diguncangnya tubuh ramping kawannya berkali-kali.


"Tutup mulutmu!" balas Rama tajam.


Namun Kevin tampak enggan untuk diam, "Ramaaaaa, panas."

LAKON ROMAN (Terlarang) DEMONSTRASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang