Bagian Akhir yang Bukan Akhir

201 17 5
                                    

Kabut yang menyelimuti lembah cemara telah tersapu. Putih pekatnya akhirnya membiarkan jarum-jarum hijau menyembul keluar. Batang cokelat bergaris-garis menampakkan diri, memamerkan kekuatan mereka menopang koloni jarun hijau selama bertahun-tahun. Cukup, kita tidak akan membicarakan pegunungan cemara yang diselimuti kabut putih. Ini tentang masalah yang terjadi sejak hari itu. Hari ketika mereka turun ke jalan, menyuarakan aspirasi. Betapa menggembirakan ketika mereka akhirnya didengar. Siapa sangka ada bayaran yang mahal atas hal itu? Kini kebenaran telah terkuak. Pertunjukkan marionette si elite telah berakhir.


Tapi kisah Romeo dan Romeo ini belum selesai.


Mahasiswa dari universitas ternama itu berdiri di depan jendela kamar putih tempatnya menginap beberapa hari lalu. Ia tak mengenakan almamater kebanggaannya hari ini, tapi jaket merah marun berhoodie hitam yang jelas-jelas kebesaran di tubuhnya. Ia membiarkan tangannya yang bersembunyi di balik lengan jaket beristirahat di kaca jendela. Pikirannya melayang.


Pekikan pelan menyelinap dari mulutnya ketika sepasang lengan kekar memeluk pinggangnya. Aroma maskulin khas seseorang seketika memenuhi indra penciumannya, membawa tubuhnya ke kondisi rileks. Menutup mata, Rama membiarkan tubuhnya bersandar ke dada si pemilik lengan. Tangannya berpindah dari kaca jendela ke lengan yang memeluknya.


"Udah nunggu lama, Kak?"


"Nggak, kok."


Ketika Rama melepaskan tangannya yang berbalik, mata Ricky seketika menyiam tubuh Rama. Ia gagal menahan senyumnya. Sosok Rama yang dibalut jaketnya benar-benar manis. Tubuhnya ia biarkan mendekat. Sebuah kecupan ia daratkan di dahi Rama. "Ayo pulang, Kak," ajaknya.


Saat itu Rama tahu dirinya akan baik-baik saja.


...


"Rick, jadi ini mahasiswa yang sering kamu omongin?"


Ricky mengangguk bangga.


"Duh, imutnya!"


"Jangan coba-coba, Kak," ancam Ricky.


Tawa terdengar, "Aku Lala, kakaknya Ricky."


"Rama," terucap bersama sebuah senyuman.


Mata Lala berbinar-binar menatap Rama. Ia lalu kembali menatap adiknya, "Nggak ada show buat aku?"


"Show apaan?" tanya Ricky.


"Ayolaah," rengek Lala.


"Nggak, yang boleh lihat muka Kak Rama selain waktu kayak gini cuma aku," tolak Ricky.


Wajah Rama memanas.


"Pelit kamu ya," ujar Lala pada adiknya.


"Biarin," balas Ricky.


Lala tertawa, "Kalian berduaan aja di kamar sana, nanti kalau makan siangnya udah siap aku panggil. Atau kubawain ke kamar sekalian-"


"Nggak, nggak usah," potong Ricky sambil menggiring Rama ke kamarnya. Mereka masuk, lalu pintu dikunci.


Ricky menghela napas, "Maaf, ya, Kak."


"N-Nggak papa," ucap Rama malu-malu. Ia yakin wajahnya saat ini semerah tomat.


Setelah mendapat izin dari pemilik kamar, Rama duduk di ranjang Ricky. Matanya menatap setiap sudut ruangan tempat ia berada. Ia kemudian berhenti, menatap ranjang di mana ia duduk. Menatap tangannya yang tersembunyi dibalik lengan jaket merah marun. Tangannya mengusap sprei yang melapisi kasur. Rasanya, ia ingin berbaring. Jari-jari Ricky terikat dengar jari-jarinya. Tubuh Ricky berada di atasnya. Lalu--


"Kak?"


Imajinasi Rama buyar. Wajahnya kembali memerah. Ia mengangkat kepalanya untuk membalas panggilan Ricky, tapi suaranya terhenti.


Beberapa langkah darinya, Ricky berdiri, menatapnya khawatir. Tapi bukan itu masalahnya, bagian tubuh atasnya terekspos.


"Ke-kenapa kamu buka baju?!" tanya Rama tanpa sadar nada suaranya meninggi.


"Aku mau ganti baju, Kak," jawab Ricky heran. Tiba-tiba ia menyeringai, "Kenapa, Kak? Like what you see?"


Tubuh si mahasiswa membeku.


Sosok si anak STM mengacak rambutnya, lalu melangkah mendekat. Rama bergerak mundur. Dan ketika Ricky semakin mendekat, punggungnya membentur dinding kamar. Belum sempat ia berpikir, tubuhnya dipenjara oleh lengan kiri Ricky. Kepalanya yang tertunduk diangkat perlahan oleh jari telunjuk dan jari tengah.


"Gimana, Kak? Lebih deket, kan?"goda Ricky.


Rama seketika lupa cara untuk bernapas. Ada hasrat untuk membenamkan diri di dalam dada bidang itu. Ia mengulurkan tangannya. Membiarkannya mendarat di tulang selangka Ricky yang menonjol. Tangannya bergerak ke bawah. Ia dapat merasakan sosok yang memenjaranya itu menahan napas.


Sesuatu dalam diri Rama terbangun. Ia menarik tangannya dan Ricky tampak melepaskan napas yang sedari tadi ia tahan. Tapi permainan belum berakhir. Rama menurunkan kerah jaket merah marun yang ia kenakan ke bahunya. Tangannya menyingkirkan tangan Ricky dari dagunya. Ia biarkan jarinya menari sejenak di lehernya. Kepalanya menengadah. Matanya menatap mata Ricky yang terbelalak. Ia sapukan lidahnya ke bibirnya. Jaket merah marun kebesaran perlahan ia lepaskan.


Wajah Ricky memerah dan ia merasakan sesuatu terbangun di bawah sana.


Menuruti hasratnya, ia bergerak mendekat. Namun terhenti oleh sesuatu menabrak wajahnya. Pandangannya ke sosok Rama yang menggairahkan terhalang. Tiba-tiba tubuhnya didorong menjauh. Ia nyaris kehilangan keseimbangan. Buru-buru ia lepaskan benda yang menutupi wajahnya, yang ternyata adalah jaketnya sendiri. Rama sudah tak ada di depannya.


"Kakakmu udah manggil tuh, aku makan duluan, ya."


Ricky menoleh cepat-cepat, tapi Rama telah melengos pergi dengan seringai usil. 

LAKON ROMAN (Terlarang) DEMONSTRASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang