Aroma ruangan pengap, berdebu, panas berhasil terdeteksi oleh indera penciuman mahasiswa beralmamater kuning lemon yang tak sadarkan diri. Walau pun demikian, ia dapat merasakan kerasnya lantai di bawahnya dan suara angin yang menyapu telinganya lembut. Syarafnya baru saja bangkit dari kematian. Tubuhnya mulai terasa kembali dan kesadarannya mula pulih. Linglung, Rama mengerjapkan matanya beberapa kali.
"Argh!" erangnya ketika rasa pusing menyerang kepalanya. Gerakan tangannya yang hendak mencengkeram kepalanya yang berdenyut nyeri terhenti. Kesadarannya yang sebelumnya masih kabur-kabur, pulih seketika.
Rama menengadah, "What the-"
Pintu yang terbuka kasar menghentikan ucapannya. Perhatiannya teralih ke cahaya yang menyelinap masuk dari pintu yang menganga. Suara dua pria dewasa menggaung di ruangan kecil redup itu. Pintu tertutup dan langkah kaki terdengar mendekat.
"Kau sudah bangun, Nak?"
Wajah dua pria yang tadi yang tadi suaranya terdengar telah berada di depannya. Kedua wajah yang diterpa cahaya bohlam kuning beberapa meter di atas Rama menunjukkan usia pemilik wajah, sekitar 27 tahunan. Aura mengancam mengudara ketika senyuman mengembang di kedua wajah itu. Bulu kuduk Rama berdiri.
"Untuk laki-laki, kamu manis juga, ya," satu dari mereka, yang memiliki tato naga di lehernya, mendekat dan mengangkat dagu Rama dengan ujung-ujung jarinya.
Rama mendecih sambil memalingkan wajahnya untuk melepaskan diri.
"You're scaring him, let me try," pemilik dari suara ini memiliki rambut brunette, aksen dan bahsanya jelas-jelas menunjukkan bahwa ia bukan orang pribumi. Ia berlutut di depan Rama. "Hey, there," ucapnya dengan sebuah senyum menggoda.
Rama berusaha agar matanya tak terkunci pada bentuk tubuh sempurna yang mengintip dari balik tiga kancing kemeja teratas yang terbuka. Namun, ia tertangkap. "Like what you see? I can take my clothes off if you want me to," ucap pria berambut brunette.
"No," balas Rama dingin.
"Ternyata bukan sekedar isu, kau memang keras kepala," si pria bertato berkata.
Rama memilih diam. Sebagian dari rasa takutnya terkubur oleh keinginan untuk melepaskan diri dan kabur yang mendatangkan keberanian. Namun jauh di dalam dirinya, ia berharap seseorang datang menyelamatkannya.
Si pria bertato naga menyandang sebuah batang besi dengan panjang sekitar 70 sentimeter. Entah sejak kapan. "Kami diperintahkan untuk menyingkirkanmu, Nak," ucapnya.
"But it would be boring if we do it directly, some tortures sound great. Let's have some fun, pretty boy," si bule menambahkan.
Rama bergidik ngeri. Otaknya berusaha menyusun rentetan kejadian dari yang paling awal tapi terhenti oleh hembusan nafas tersentak kesakitan dari dirinya sendiri. Ia belum sempat berkedip, batang besi 70 cm dihantamkan ke sisi kiri tubuhnya. Dirinya ingin melawan tapi kedua tangannya terikat di beberapa senti di atas kepalanya, membuatnya putus asa. Ingin meringkuk melindungi diri, tapi juga tak bisa. Ia menyerah, membiarkan batang besi itu menyentuh tubuhnya dan meninggalkan nyeri. Erangan kesakitannya semakin melemah seiring dengan bertambahnya pukulan yang mendarat di tubuhnya. Ia bermandikan keringat. Kemeja hitamnya basah. Hembusan angin membuatnya menggigil. Almamater kuning lemonnya tak banyak membantu. Nafasnya menderu tak beraturan. Ia mengangkat kepalanya lemah untuk melihat penyiksanya. Satu pukulan menghantam tengkuknya, menjadi hal terakhir yang ia rasakan sebelum kesadarannya diringkus.
...
Terbangun dan kehilangan kesadaran lagi. Kesadarannya kembali, tubuhnya dipaksa menghadapi rasa sakit, kehabisan tenaga, lalu pingsan. Siklus yang ia alami selama dua hari. Makanan? Hanya segelas air yang ditenggakkan secara paksa. Tubuhnya kian melemah.
Rama dapat mendengar suara pintu yang sudah sangat familiar untuknya. Langkah kaki yang lembut tapi tegas di saat bersamaan milik si pria berambut brunette. Sosok itu berlutut di depannya. Kepala Rama tetap tertunduk.
"Just kill me already," bisiknya lemah.
"I never thought those words would came out of your mouth, you seemed like a tough type," si bule membalas.
Mahasiswa beralmamater kuning lemon itu memejamkan matanya sejenak ketika gelombang rasa pusing menyerangnya.
"Sorry, but I can't grant your wish."
"Wha-" pertanyaan Rama terpotong oleh sepasang bibir menabrak miliknya lapar. Ia buru-buru menarik dirinya menjauh. Matanya menatap si bule tak percaya. Bukannya jawaban, tapi bibir yang sama kembali melumat bibirnya. Gumpalan daging bernama lidah menerobos bibirnya yang terkatup rapat. A rough french kiss. Sepasang tangan membebaskan kancing kemeja hitamnya dari masing-masing lubang. Tangan yang sama kemudian meraba tubuhnya yang dihiasi memar biru keunguan. Ia meronta, ingin melepaskan diri.
Bibir itu pergi, tapi kemudian berpindah ke ceruk lehernya. Rama tersentak, sontak menengadahkan kepalanya. Matanya terpejam rapat tapi air mata berhasil menyelinap keluar. Nafas berantakan terhembus dari mulutnya yang sedikit terbuka, bersama isakan-isakan. Ia dapat merasakan pelukan bahan jeans di pinggangnya mengendur. Ia panik, tubuhnya gemetar ketakutan. Bibir yang tadi berpindah ke dadanya yang terekspos. Tangan, menyentuh daerah privatnya.
"J-Jangan, ku-kumohon," ia merintih.
Bibir milik si pria berambut brunette kembali ke lehernya. Gigi dibenamkan ke kulitnya hingga cairan merah mengalir. Rama mengerang lemah kesakitan.
Siksaan itu berhenti sejenak. Rama menundukkan kepalanya. Ia diliputi tremor. Suara ritsleting ditarik turun membuatnya mengangkat kepalanya. Penyesalan seketika menyeruak ketika mata cokelatnya menangkap kehadiran sesuatu yang mengundang datangnya teror dan ketakutan pada dirinya. Pupilnya melebar.
"J-Jangan," permohonannya tak didengar. Air mata mengalir deras dari ujung matanya. Jeritan kesakitan kemudian meninggalkan mulutnya, memecah keheningan ruangan kecil nan redup itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
LAKON ROMAN (Terlarang) DEMONSTRASI
FanfictionBukan lakon roman Romeo dan Juliet, bukan lakon roman Rama dan Shinta, bukan apa-apa. Hanya sebuah kisah klise pertemuan dua insan di tengah perjuangan aspirasi. Warning! BL (cover originally by me) @oni_kaz