(Bukan) Demam

232 34 0
                                    

"Duh, Kak, kenapa tangannya bisa sampai kayak gini?" tanya Ricky sambil membalutkan perban putih di tangan kakak mahasiswa.


"Ceritanya panjang," balas Rama. Matanya menatap tangan terampil Ricky yang melakukan semuanya dengan penuh kehati-hatian. Ia menggigit tepi bibirnya sebagai usaha untuk menahan warna merah jambu menyebar di pipinya. Entah kenapa ia merasa dirinya diliputi aura hangat yang menenangkan.


"Jangan bilang Kak Rama tadi ikut ngusir kawat berduri?" tebak Ricky. Ia mengembalikan P3K ke mahasiswa yang bertugas di bagian medis.


"Well, begitulah," Rama menampakkan senyum canggung. "Oh, iya, Dek, punggungmu gimana? Tadi kamu kena water cannon kan?" tanyanya khawatir.


Ricky justru menampakkan senyum lebar, "Nggak papa, kok."


Rama melepaskan jaket merah marun berhoodie hitam yang sudah jelas milik penyelamatnya dari bahunya. "Dasar, kamu masih bisa ketawa gitu, ya. Kena water cannon itu sakit, lho, kalau sampai luka gimana?" ia mengembalikan jaket itu ke tubuh pemiliknya.


Tawa menyelinap keluar dari bibir Ricky. "Makanya aku nggak mau Kakak luka," ujarnya kemudian.


Panas membawa warna merah ke pipi si mahasiswa. Kata-kata remaja laki-laki di depannya membuat kupu-kupu menari-nari di dalam perutnya.


"Eh, muka Kakak merah, Kak Rama pusing?" Ricky bertanya dengan kepolosan nyata dalam suaranya.


Rama menggeleng. Sebuah tangan tiba-tiba beristirahat di dagunya. Tangan itu dengan lembut mengangkat kepalanya yang tertunduk. Belum sempat otaknya memproses apa yang terjadi, dahinya disentuh oleh dahi Ricky. Wajahnya seketika memerah bak kepiting rebus.


"Nggak panas, kok-- Oh," Ricky tampaknya telah menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Sebuah seringai tampak mengembang.


"Kenapa, Kak? Kakak sakit?" tanyanya dengan kepolosan yang berbeda, kepolosan palsu.


"N-Nggak," Rama terbata untuk kedua kalinya hari itu.


Ricky merasa terhibur. Kakak mahasiswa yang satu ini benar-benar manis. Jika tidak sedang berdemo, ia pasti sudah membawanya pulang, ke kamar, melemparnya ke ranjang, dan 'menghabisinya'.


Iris cokelat Ricky menatap si mahasiswa lekat-lekat. Rama tak sanggup lagi. Ia ingin mundur menjauh tapi entah sejak kapan tangan Ricky telah menemukan posisi ternyaman di pinggangnya. Tubuhnya membeku. Pada akhirnya, ia hanya bisa mengalihkan pandangannya ke bawah, menghindari kontak mata.


"Kak Rama?" panggil Ricky.


Rama tetap bungkam.


"Kak, lihat sini, dong," rengek Ricky. Suara itu entah bagaimana berhasil membuat Rama kembali menatap wajahnya.


Ricky mundur, dahi mereka sudah tak bersentuhan, tapi ia menjaga jarak tetap dekat. Tangannya yang tadi berada di dagu Rama berpindah ke pipi manis kemerahan itu. Diusapnya pipi itu dengan ibu jarinya lembut.


"Kak Rama tau nggak?" ucapan Ricky menggantung di udara.


Rama menggeleng pelan. Wajahnya masih semerah sebelumnya.


Sang Wakil Komandan pasukan STM tiba-tiba mendekat. "Kakak itu orang termanis yang pernah aku temui," bisikannya tepat di telinga sukses membuat bulu kuduk Rama berdiri dan tubuhnya melemah. Si mahasiswa tak bisa berkata-kata.


"WOY, RICK! KAMU NGAPAIN?!"


Hanya satu orang yang memanggilnya 'Rick'. Si pemilik nama menarik tubuhnya menjauh dan berteriak, "NGGAK USAH NGGANGGU, JO!"


Jonathan melangkah mendekat. Melihat rekannya telah menemukan seorang pendamping membuatnya turut senang. Ia menjatuhkan diri di sebelah Ricky yang tampak kesal dan mendaratkan satu lengan di bahunya. "Sejak kapan, Rick?" tanyanya dengan sebuah senyum lebar.


Ricky mendecih sambil mengikir dari rangkulan Komandan pasukan STM.


Jonathan menggumamkan 'jahat banget sama temen sendiri'. Detik berikutnya, ia telah memasang kembali wajah seriusnya. "Rick, kita harus membuka buka jalan buat kakak-kakak mahasiswa," ia memulai.


"Aku tahu," balas Ricky.


"Kamu tahu sendiri temen kita kayak gimana, aku butuh bantuan."


Ricky mengangguk. Sebenarnya, tanpa diberitahu pun ia sudah  tahu tugasnya sebagai Wakil Komanadan. Namun di saat bersamaan dirinya ingin mengingkari kewajibannya, dan melindungi  Rama seorang. Ia ingin tetap bersamanya.


"Kak Rama," panggilnya pelan. "Aku harus ke garis depan," entah mengapa berat sekali baginya untuk mengatakannya.


"Aku ikut, Dek," tiga kata itu mengundang keterkejutan dalam wajah Ricky.


"Tapi, Kak--"


"Aku dari tadi di garis depan."


Wakil Komandan pasukan STM menatap sosok laki-laki yang berhasil menarik hatinya. Ia menangkap kilatan berani tanpa ragu dalam mata cokelat ia yang beralmamater kuning lemon. Sorot mata itu mendatangkan secercah ketakutan dalam dirinya. Namun ia tersenyum.


"Tangan Kakak luka, selain itu, tawuran spesialisasi kami," Ricky mendaratkan kedua telapak tangannya di bahu Rama yang lebih ramping. "Biar kami yang di garis depan, Kak Rama berjuang aja sama temen-temen Kakak. Maksudku, biar kami yang membuka jalan, urusan orasi kami serahkan ke Kakak," senyuman tak meninggalkan wajah tampannya.


Rama mengalihkan pandangannya ke sekitarnya, terdiam, berpikir sejenak. Dialihkannya kembali pandangannya ke remaja laki-laki yang berhasil membuat jantungnya berlari, ia mengangguk. Kemudian ia  melepaskan diri dari tangan Ricky dan berbalik, tapi masih menoleh ke sosok berjaket merah marun ber-hoodie hitam. Matanya mengatakan 'see you later'.


"Kak, tunggu!" teriakan itu menghentikan kaki Rama yang telah membawanya sedikit menjauh. Ia berhenti, menoleh ke belakang dan mendapati Ricky berlari mendekat.


"Ada yang ketinggalan," ujar Ricky.


Rama hanya bisa menatap heran.


Ricky tiba-tiba menangkup pipinya dengan satu tangan. "Ini yang ketinggalan," dan bibirnya mendarat lembut di pipi Rama. Ia kemudian berbalik dan belalu dalam satu gerakan cepat.


"Hati-hati, ya, Kak!"


Tangan Rama seketika melayang untuk menyentuh bekas dari bibir Ricky di pipinya. Senyumnya merekah.

LAKON ROMAN (Terlarang) DEMONSTRASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang