Chapter 3

3.8K 70 0
                                    

Rombongan SMA Athens memasuki wilayah Gunung Bromo. Hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang menyambut kedatangan mereka. Jarum jam menunjukkan pukul 03.40 dini hari, itu tandanya mereka harus bergegas menyewa mobil jeep dan pergi ke daerah pegunungan, karena matahari terbit pada pukul 4. Sesampainya didaerah pegunungan, mereka harus berjalan kaki lagi menuju tempat untuk melihat matahari terbit.

Entah nasib sial darimana yang menimpa Prilly, ia lupa membawa sarung tangan dan dompet. "Yaelah, pake acara ketinggalan segala. Halik lama banget lagi di toiletnya, duh." Gumam Prilly.

"Kenapa Pril?" Tanya Ghina yang melihat Prilly gelisah. "Loh? Kok lo nggak pake sarung tangan sih, Pril? Ntar kalo lo kumat gimana?" Ghina berteriak panik.

"Ketinggalan di bis, Ghin. Gue pinjam duit lo dong, buat beli sarung tangan. Dompet gue ketinggalan didalam bis nih." Prilly mengosok-gosokkan kedua telapak tangannya.

Belum lagi Ghina sempat mengeluarkan dompetnya, sebuah suara mencegah Ghina untuk melakukan hal tersebut, "Nggak usah, Ghin. Barang disini mahal." Ternyata siempunya suara adalah Aliando.

"Tega lo, ya. Gue lagi keadaan darurat gini, lo malah nggak ngebolehin dia minjemin duit ke gue karena alasan mahal? Bodo amat deh sama harga daripada gue mati! Ghin, buruan. Nggak usah dengerin manusia gapunya hati kaya dia." Prilly berteriak sengit dengan wajah yang sudah mulai pucat.

"Maksud gue, nggak usah beli lagi Pril. Lo pakai punya gue aja. Daripada buang-buang uang kan?" Aliando berkata dengan lembut. Dilepasnya kedua sarung tangannya, kemudian diberikannya kepada Prilly, "Nih."

Prilly tak bergeming, "Ayo buruan dipake." Merasa ucapannya tak direspon, Aliando langsung menarik tangan Prilly dan memasangkan sarung tangannya.

Ghina yang melihat adegan langka antara Aliando dan Prilly tersebut mundur secara teratur, "Gue duluan, ya. Udah ditungguin Bastian. Bye."

Sedangkan Angel menatap mereka berdua dengan tatapan tak suka. Halik pun belum kembali dari toilet.

"Nah, udah." Aliando tersenyum sembari menggenggam kedua tangan Prilly. "Gimana? Udah hangat?" Tanyanya dengan lembut yang dibalas dengan anggukan oleh Prilly.

"Li, gue juga kedinginan nih." Angel berpura-pura menggosok-gosok badannya seolah-olah ia kedinginan.

"Lo liat tukang wedang jahe itu kan?" Aliando menunjuk seorang ibu-ibu yang duduk didekat tangga. "Lo beli gih sono, buat angetin badan lo."

"Yaudah yuk kesana." Angel berusaha menarik lengan Aliando.

"Noh, lo sama Halik aja. Gue mau naik duluan sama Prilly." Aliando menunjuk ke arah Halik yang baru keluar dari toilet. "Yuk, Pril." Aliando menggenggam erat tangan kanan Prilly.

"Loh? Li? Masa gue ditinggal sendirian?" Angel berteriak seperti anak kecil.

"Nggak betah gue sama lo, noh sama Halik aja lo." Aliando menaiki tangga bersama Prilly tanpa mempedulikan Angel yang berteriak seperti orang gila.

Sepanjang perjalanan Prilly hanya terdiam. Ia tak merespon Aliando sama sekali, ia pun membiarkan saja Aliando menggenggam tangannya. Pikirannya melayang jauh entah kemana. Dalam kondisi Prilly yang normal sudah pasti ia akan mencak-mencak diperlakukan Aliando seperti ini. Namun kali ini kondisinya berbeda.

"Kita disini aja, Pril. Dari sini sunrise-nya kelihatan jelas." Aliando menunjuk matahari yang mulai muncul diufuk timur. Tangannya masih tetap menggenggam tangan Prilly.

"Lo nggak kedinginan, Li?" Akhirnya Prilly buka suara.

"Nggak, kan lagi pegang tangan lo jadi hangat. Hehehe." Aliando terkekeh.

Too LateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang