14. Perdebatan

32 6 8
                                    

Setelah adegan nggak layak ditonton tadi, gue sama Maya sekarang lagi di depan koperasi. Masing-masing tangan kita udah pegang kaleng minuman.

Gue menipiskan bibir. Menatap Maya yang bengong lagi ngeliatin ubin sekolah dengan pikiran dia yang mengawang. Gue ragu-ragu ngejulurin tangan mau ngebenerin rambut dia. Tapi dia udah gerak sambil mendengus kasar buat gue balik narik tangan gue ciut.

"Ck!" gue tersentak mundur saat Maya menoleh ke gue nggak sabaran. "Lo tuh kenapa sih Re?!" gue makin mundur ciut. Kayak lagi diamuk bunda.

"Kalau gue jadi lo, udah gue cakar tadi itu si Gia sama Citra." gue melongo. Nggak tahu harus bereaksi apa. "Harusnya lo nggak usah tahan gue! Mereka tuh kurang ajar banget sama lo!" lanjut dia masih menatap gue gregetan.

"A... Gue..." gue gagu gitu aja. Tiba-tiba bingung mau ngomong apa.

Maya masih menatap gue. Menunggu balasan gue nggak sabaran. Gue jadi mendesah lelah. "Gue juga maunya gitu," kata gue pada akhirnya.

Gue menunduk nggak berani natap perubahan wajah Maya. "Tapi gue bingung. Gue nggak tahu harus dari mana nyalahin mereka. Faktanya, nggak ada yang salah. Semua cuma salah paham. Gia juga ngelakuin semua ini karena Citra bayar dia. Citra ngelakuin ini---"

"Karena dia cemburu sama lo?" gue menoleh menatap wajah Maya yang menatap gue gusar. "Semuanya itu salah Citra, Re!!!" pekik dia gemas. Bahkan gue udah mundur saat dia membuat gerakan mencakar di udara.

"Lo harusnya maju! Lawan dia kek, cewek kayak gitu pengecut! Dia nggak punya hak mau cemburu sama lo!!!" kata dia gregetan sendiri. Sekarang dia udah mengusap wajahnya gusar. Kayaknya dia terlalu ambil pusing masalah gue.

"Lagian cowok-cowok bejad itu sok ganteng banget sih," kata Maya jadi meracau sendiri. "Mereka jadi buat posisi lo serba salah tau nggak?" Maya udah maju ke dekat wajah gue membuat gue mundur dengan sigap.

Terus terang gue nggak terlalu siap sama sikap Maya yang blak-blakan dan moodnya yang nggak teratur kayak gini. Kalau Aqila cuma mulutnya dan wajah sinisnya yang nggak bisa dikontrol. Tapi cewek ini semuanya nggak bisa dikontrol.

Emosinya, mulutnya, tenaganya, perilakunya, bahkan kefrontalan dia. Semua nggak bisa dikontrol. Dia terlalu barbar. Untungnya dia pinter dan cantik.

"A... Gue---"

"Udah diem!" Maya kembali memotong. Dia menatap gue jengah. Sebagai respon gue cuma meneguk ludah kasar.

"Intinya lo masih pikirin perasaan mereka!! Lo takut kalau lo maju, semuanya jadi nggak terkendali. Sedangkan lo mau selalu dipandang tenang seakan semua itu nggak ngaruh sama lo!" lanjut cewek ini langsung berdiri. Gue yang melihatnya jadi latah berdiri juga.

Gue masih diam menatap ubin sekolah bingung. Gue melirik saat Maya mendesah lelah. Gue sekarang menatap dia takut-takut. Sedangkan dia udah ngeliat gue dengan wajah melunak.

"Ayok balik. Sekarang gue diem. Tapi kalo ini kejadian lagi lo nggak ngelawan, jangan tahan gue. Biar gue yang beresin." cewek ini akhirnya menarik tangan gue balik ke kelas.

**

"Rambut lo kayak raja singa!" gue menatap Maya nggak enak saat masuk kelas.

Sedangkan Dero dan Ferdo udah sibuk ngeledekin. Emang iya sih, rambut Maya berantakan. Bekas berantem tadi. Udah gue bilang kan gue mau benerin. Tapi guenya takut.

Maya menatap Dero dan Ferdo malas lalu menyeruak di antara mereka berdua dan ke pojok kelas -tempat duduk Maya- begitu aja. Sedangkan gue masih dengan bodohnya menatap Dero dan Ferdo yang masih berdebat.

TeenageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang