II

6 2 0
                                    

"Pu-Putus?"

Aku membeo ucapan Rama dengan begitu terkejut. Mimpi buruk ini memang akan terjadi. Tapi, kenapa harus sekarang?

"Ta-tapi, ke-kenapa?" Aku merasakannya, suaraku mulai bergetar. Aku terisak tertahan sambil menatapnya. Kami berdua berdiri di tengah hujan. Memandang satu sama lain dengan pandangan yang sulit diartikan. Aku cukup bersyukur saat itu, karena cuaca mendukungku untuk menutupi tetesan air dari mataku. "Aku sudah bosan denganmu." Rama menatapku datar, tanpa dosa. Aku menatapnya tidak percaya. Hubungan kami yang sudah menginjak 1 tahun, hanya dianggap mainan saja olehnya? Aku tidak bisa menerimanya. "Jadi, menurut kamu. Hubungan kita selama ini hanya mainan saja?" Aku mengepalkan tanganku. Mencoba menahan semua amarah ini.

"Ya, kurang lebih seper-"

PLAK!

Tanpa kusadari, tanganku mendarat di pipi kirinya. Emosiku membludak begitu hebatnya. Aku begitu menyayanginya, sangat sangat sangat menyayanginya. Kini, aku kehilangannya. Ku kira itu hanya sebuah mimpi. Tapi, aku salah. Dinginnya senja yang tampak gelap ditutupi oleh awan-awan kelabu. Semakin menyadarkanku dan membawaku ke dalam kenyataan pahit yang sedang terjadi disini. Dihadapanku.

"Ram... Kalau memang hubungan kita ini hanya mainan. Sebaiknya, cari saja pelacur yang mau menemanimu baik siang atau pun malam. Itu lebih baik dari pada bersamaku yang mencintaimu dengan tulus. Karena sakit disini tidak akan ada obatnya." Aku menunjuk tepat di dada bidang Rama. Rama menunjukkan ekspresi terkejut yang amat sangat. Aku berbalik pergi dan meninggalkannya di tengah hujan.

Aku berjalan di pinggir jalan raya yang masih ramai dengan kendaraan-kendaraan yang melaju cukup kencang. Tatapanku kosong. Aku hanya berjalan dan berjalan di bawah hujan yang sudah seperti payung yang mengikutiku.

Hampa.

Itulah perasaan yang kurasakan sekarang. Semua rasa cinta yang ku bangun dengan susah payah. Telah runtuh dalam waktu beberapa detik.

'Aku betul-betul tak menyangka. Semuanya terjadi begitu cepat.'

Aku yang masih dilanda emosi dan kesedihan yang mendalam. Berjalan menuju pagar rumahku. Membukanya dan menutupnya kembali. Hujan turun semakin deras, terdengar petir dimana-mana.

'Apa yang akan terjadi dengannya? Apakah dia akan sakit? Ci! Dia sudah menyakiti perasaanmu. Kenapa aku harus memperdulikannya?'

Aku menggeleng kuat. Mencoba menyingkirkan segala hal yang menyangkut Rama. Aku meraih knop pintu dan membukanya.

"Aku pulang..." Kataku lirih. Pandu berlari menghampiriku yang basah dan menyampirkan handuk ke kepalaku, saat aku menunduk hendak melepaskan sepatuku. "Kak, harusnya pake payung dong! Kalo besok sakit, gimana?" Pandu sepertinya menatapku cemas. Tapi aku tetap diam, tak menghiraukannya. Aku berjalan meninggalkan adikku dalam kebingungan. Bergegas menuju kamarku.

Kamar yang didominasi oleh warna terang dan pastel, biasanya begitu indah di mataku. Tapi, sekarang berbeda. Aku merasa ini hanya sebuah kamar yang tak berwarna. Seperti perasaanku yang hampa. Aku berjalan gontai menuju jendela besar di kamarku. Menatap rintikan hujan dibalik kaca besar yang tampak berembun karena dinginnya malam. Aku menghela nafas panjang. Mencoba menyudahi kesesakan akibat luka yang telah Rama goreskan padaku.

Tok tok tok

Ketukan di pintu kamarku membuyarkan lamunanku. Aku segera menghapus air mataku dan menatap ke luar jendela. Pandu masuk, berjalan kearahku dengan tatapan datar. Walau aku tau di wajahnya tersirat kekhawatiran yang begitu besar.

"Kalo kakak mau nangis, nangis aja. Aku disini sama kakak, kok."

Pandu mendekapku erat dengan tangan-tangan mungilnya. Aku membalas pelukannya, tangisku kembali pecah di pundaknya yang kecil dan hangat.

Putus (Reconstruction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang