III

9 2 0
                                    

Aku berjalan menuju pintu gerbang sekolah. Sekarang sudah jam 3.00 sore dan Jillian masih belum menampakkan batang hidungnya dihadapanku sejak istirahat kedua tadi. Aku sangat penasaran dengan kata-katanya saat istirahat pertama tadi.

"Tunggu aku sepulang sekolah di pintu gerbang. Aku tahu cara yang tepat menghilangkan semua kenanganmu dengan Rama."

Aku menatap jam tanganku lelah. Jam 3.05 sore. Aku menghela nafas lelah. Inilah hal yang paling kubenci seumur hidupku.

Menunggu.

Aku menatap siswa-siswi yang masih berhamburan dilapangan. Lagi-lagi aku melihatnya dan menatapnya dari kejauhan. Dia sedang berjalan dengan seorang siswi yang tak ku kenal, tapi caranya menyentuh Rama membuatku kesal. Aku yakin dari sikapnya itu dia pasti seorang 'wanita penggoda'. Dia memakai helmnya dan menaiki motornya tanpa menghiraukan siswi di sebelahnya yang memohon padanya agar mengantarnya pulang.

Deg

Jantungku berdegup cukup kencang karena tiba-tiba Rama menatapku. Tapi, sekarang aku berhasil mengalihkan pandanganku dan kembali menunggu Jillian.

Tiin!

Sebuah mobil sport biru tua metalik berhenti di hadapanku. Kaca mobil tersebut terbuka, menampakkan sang empunya mobil yang tak lain dan tak bukan adalah Jillian.

"Ayo naik." Jillian tersenyum dan memakai kacamata hitamnya. "Dasar sok keren." Aku menaiki mobil tersebut, duduk di sebelah Jillian. "Bodo amat." Jillian tersenyum miring atau lebih tepatnya menyeringai. Aku hanya menghembuskan nafasku geli dan tersenyum kecil melihat tingkahnya.

Deg

Tepat sebelum Jillian memindahkan persneling atau gigi mobilnya. Tiba-tiba aku merasakan hawa mengintimidasi dan kesedihan dari kejauhan. Aku menatap kaca spion di sebelah kiriku. Aku sedikit tersentak. Menemukan Rama sedang menatap kearah mobil Jillian yang aku naiki, membuatku menatap matanya melalui kaca spion.

Sedih, kesal, dan bahagia.

Itulah perasaanku saat ini.

Sedih,
Karena aku hanya bisa menatapnya dan tak bisa mendekatinya dari sisi manapun.

Kesal,
Karena mengingat ucapannya yang mengatakan aku hanya 'mainan' untuknya.

Bahagia,
Karena setidaknya dia masih menganggap keberadaanku dan masih peduli kepadaku.

"Pegangan. Pasang safety belt-mu. Aku akan berlomba dengan angin." Tiba-tiba Jillian menepuk pundakku dan dia kembali menyeringai.

"Heh?"

Jillian menginjak pedal gasnya dan hampir membuat diriku terlempar ke belakang.

"Heh?!"

"Ka-ka-kau gila. Haah... Haah... Haah..." Aku menatap Jillian nyalang. "Mobil sport mana yang melaju di jalanan dengan kecepatan di bawah 40km/jam?" Kata Jillian dengan nada mengejek. "Tapi kan gak perlu sampe 100km/jam!!! Lagi pula ini di jalan raya!! Kalau di jalan tol aku mungkin tidak akan semarah ini!!" Aku mencoba menenangkan jantungku yang berdetak cepat karena kelakuannya. "Udah lebay, ayo turun." Jillian membuka pintu mobilnya dan aku pun mengikutinya.

Putus (Reconstruction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang