"Hah?" Pandu menatapku tak percaya, aku hanya menunduk tak berani menatapnya. Aku mendengar isakan halus darinya. Aku langsung membawanya ke dekapanku, membiarkannya menangis mungkin pilihan yang tepat untuk saat ini. Aku merasa sangat bersalah sekarang. Aku seperti merasa bahwa akulah yang telah membunuh Mama.
"Pandu jangan nangis ya... Mama udh senang di atas sana, masa kamu nangis? Kamu mau Mama jadi ikut sedih?" Aku mengelus kepalanya perlahan dengan tanganku yang sedikit gemetar menahan tangis. Aku terus memeluknya sampai dia tertidur di dekapanku, aku mengangkatnya ke atas kasur.
'Ugh, berat juga...' aku menaruhnya perlahan dan menyelimutinya. Aku langsung tidur di sampingnya karena tubuhku yang memang sudah lelah.
♤
"Hoam..." Pandu menguap sambil menyantap makanannya. Pagi ini biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa. Hanya saja kami dipenuhi keheningan dan duduk di meja makan yang terasa asing bagi kami. Aku menghela nafas lelah sambil memotong-motong pancakeku.
'Aku sangat tidak bersemangat sekarang...' Kataku membatin lelah. Aku menatap Pandu sekilas, dari raut wajahnya sudah terlihat banyak hal yang sedang dipikirkannya. Aku kembali menhela nafasku dan beranjak dari tempat dudukku. Pandu spontan menatapku datar.
"Siap-siap, kita akan membawa Mama pulang-"'-kembali ke sisi Papa.' Aku berlalu. Aku tidak ingin menyebut "kuburan" karena itu terlalu menyadarkanku bahwa Mama sudah tiada. Diriku yang menjauh tetap bisa merasakan hawa putus asa dan kekosongan Pandu, dia tetap memakan sandwichnya dalam diam. Tak ada dentingan garpu sedikit pun, tapi itulah yang membuatku yakin dia sangat berduka dan terpukul telak sama sepertiku.
♤
"Tan! Kami udah siap nih, ayo berangkat!" Seruku dari lantai dua rumah besar Mama yang sekarang telah jadi milikku. Pandu mengekori kegiatanku menurunkan koper kami dari kamar masing-masing. Aku berjalan mendahului Tante Eca lalu memasukkan koperku ke bagasi. "Udah semuakan? Ayo kita berangkat." Tante Eca memberikan isyarat kepada sang supir dan kami pun pergi meninggalkan rumah ini.
Keheningan begitu melengkapi kami selama perjalanan menuju Roissy. Supir yang fokus ke jalanan, Tante yang sibuk dengan Ipad-nya, Pandu yang menatap kosong tangannya, sampai aku yang memperhatikan mereka. Aku menghembuskan nafas pelan, merasa lelah dengan batin yang terus menolak suasana ini.
Aku terus larut dalam pikiranku tentang semuanya, tentang Mama, Perusahaan, sampai Rama.
'Tu-tunggu! Rama?! Yang benar saja Cilea!!' Aku menyandarkan diri dan mencoba untuk menenangkan diri sampai aku jatuh tertidur
♤
"-kak bangun udah sampai." Aku samar-samar mendengar suara Pandu membangunkanku.
'Haah... paling cuma mim-'
"KAKAK BANGUN UDAH SAMPE." Ucap pandu di telingaku, aku terlonjak kaget dan bangun dari tidurku. "Biasa aja kali ndu banguninnya," ujarku jengkel menatap Pandu yang balik menatapku lebih jengkel. "Udah tiga kali aku banguninnya 'biasa aja' tapi kakak gak bangun-bangun tuh," balasnya sambil menirukan tanda baca petik dengan kedua tangan mungilnya. "Ya ya ya, ya udah yuk berangkat." Aku menggandeng Pandu untuk berjalan bersamaku, Tante Eca yang berada di depan kami menoleh kebelakang sebentar kemudian berbalik lagi berjalan ke arah bandara. "Tan, Mama udh masuk ke kargo kan? Gak ada yang lupa kan?" Tanya ku dengan suara memastikan. "Sudah Nona Lea, semuanya sudah dipersiapkan tinggal berangkat aja sekarang," Kata Tante Eca dengan senyum simpulnya. Aku pun membalas mengangguk paham. Teringat akan sesuatu aku pun kembali bertanya, "kita naik pesawat apa Tan?" Tante Eca menatapku sekilas dan kembali ke Ipad-nya. "Pesawat pribadi kalian," jawabnya enteng dan kembali berjalan mendahului kami. Aku tidak terkejut dengan jawabannya tapi yang aku pertanyakan adalah gurat kekesalan yang nampak samar di wajahnya. 'Mungkin masalah perusahaan?' Aku mengangkat bahuku tak begitu peduli.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putus (Reconstruction)
Storie d'amorePutus. Tidak selalu menjadi akhir. Suatu saat, putus akan menjadi awal. Awal berseminya cinta yang baru. Sincerely, Brinada February 24, 2017