|9

692 105 0
                                    

Akhir ajaran sekolah telah selesai, anak-anak tingkat akhir pun telah menyelesaikan tugas akhir mereka. Ada rasa kelegaan ketika pengumuman kelulusan diberitahukan sekolah Kanara lulus 100%. Itu berarti Saga dan Bara telah lulus dan bersiap untuk melanjutkan ke pendidikan selanjutnya, universitas. Itu juga berarti tidak ada lagi seseorang yang selama ini menjadi alasan Kanara semangat disetiap pagi untuk berangkat ke sekolah.

Teringat akan perbincangannya dengan Bara saat di kedai mie ayam terakhir kali.

"Kak Bara mau lanjut kemana abis lulus nanti?"

"Hhhmm... masih mikir sih mau jurusan apa, tapi universitas udah pasti bakal di luar kota."

"Luar kota?"

"Biar bebaaaasss hahhahha."

"Aaaaahh paham-paham. Biar bisa kelayapan malem sampe pagi. Yakaann."

"Nah! Tuh tau. Sekalian biar bareng Saga juga sih hhehheh."

"Bareng Saga???" Dengan suara hampir berbisik yang tahunya didengar oleh Bara.

"Iyaa bareng Saga. Gua tuh susah lepas gitu dari Saga, gak tau deh kenapa. Pake pelet kali tuh orang ke gue hahahaha."

"Hahhaha." Dalam hati Kanara setuju bahwa Saga mungkin saja memakaikan pelet padanya juga.

Sedang asik dalam pikirannya sendiri, sejak Bara mengatakan ia akan kuliah di luar kota bersama dengan Saga, itu tandanya ia akan sulit bertemu dengan Saga, atau mungkin... tidak akan bisa melihat Saga.

Saat Kanara sedang mencoba membuang jauh-jauh pikiran-pikiran yang tak diinginkannya...

"Ra."

"Hm??"

"Bengong aja." Yang dituduh hanya melempar senyuman.
"Lo manggil gue gak usah pake 'kak' dong Ra, kayak lo tadi manggil Saga. Kan gak pake 'kak' tuh."

"Hah? Masa?"

"Iyaa tadi lu bilang... 'Saga' gitu."

"Emang kenapa?"

"Berasa dituakan banget gue." Merengut Bara.

"Hahaha iyaa iyaa.... Bara."

"Nah gitu dong, kan lebih santai."


Malam ini adalah terakhir kali band Saga dan kawan-kawan tampil di sekolah mereka. Setelah dinyatakan lulus, sekolah mengadakan acara perpisahan untuk siswa-siswi yang telah berjuang selama tiga tahun terakhir. Tidak hanya siswa-siswi tingkat akhir bahkan seluruh penghuni sekolah tanpa terkecuali hadir pada acara malam ini.

Setelah berbagai rangkaian acara inilah saat yang ditunggu-tunggu, penampilan dari band kebanggaan sekolah yang digaungi Saga, Bara, Wira, Dimas, dan Juno —selaku alumni— menampilkan performanya sebagai penutup acara dengan membawakan beberapa lagu.

Seluruh siswa dan siswi telah mengambil tempatnya masing-masing. Tak terkecuali Kanara dan Hilda mereka berdua telah bersiap berdiri dibarisan paling depan dengan para siswa-siswi lainnya yang tak mau melewatkan penampilan terakhir dari band sekolah kesayangan mereka.

Larut dalam setiap lagu yang dibawakan rasa haru pun tak terelakkan kala band Saga dan teman-teman membawakan lagu terakhir dari Sheila On 7 - Sebuah Kisah Klasik sebagai penutup salam perpisahan untuk setiap kenangan yang pernah tercipta.


Terus terbayang dalam benak Kanara bagaimana Saga bermain dengan gitar akustiknya pada malam acara perpisahan membuat perasaan Kanara resah kala mengingat Saga yang akan pergi jauh untuk melanjutkan pendidikkannya.

"Da..."

"Hmm??"

"Gua mau bilang perasaan gua ke Saga Da."

"HAH???"

Dengan mata membulat Hilda seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Kanara.

"Lo... serius Ra?"

Tak ada jawaban. Kanara yang ditanyai keseriusan untuk menyatakan perasaannya kepada Saga hanya terdiam. Meski dalam pikirannya sedang ada kekacauan yang teramat parah.

".... enggak tauuuu... huhhu hiks"

Hembusan nafas berat keluar begitu saja dari mulut Hilda melihat temannya yang kini sedang berada dalam kebimbangan.

"Bilang Ra. Urusan perasaan dia sama kayak lo apa engga, urusan perasaan lo dibales apa enggak itu urusan belakangan. Seenggaknya lo bilang dulu perasaan lo ke dia. Lo gak pernah tau kapan lo bisa ketemu lagi sama dia. Kan lo bilang sendiri dia bakal kuliah ke luar kota."

"Iyaaa. Gua juga mikirnya gitu. Cuma gimana caranya???"

Kanara yang sedang kalut pun tak tahu bagaimana dan dari mana ia harus memulai.


Kanara

Siang ini matahari tak terlalu terik bahkan langit cenderung mendung. Entah mengapa, namun aku suka. Pertanda sebentar lagi hujan turun. Selalu ada bau tanah basah yang menjadi salah satu bau kesukaanku. Ada bau kesegaran kala aku mencium bau tanah basah dan diiringi suara gemercik air hujan yang turun secara bergerombolan.

Perlahan ku langkahkan kakiku dilorong-lorong kelas mengingat lantainya yang basah karena terkena derasnya air hujan yang dihembuskan angin sehingga membuatnya licin. Dengan map plastik yang didalamnya berisikan beberapa lembar catatan fotocopy-an dipelukkanku yang rencananya akan aku pinjamkan kepada Hilda.

Niat langkah kakiku untuk menyambangi kantin menyusul Hilda yang lebih dulu ada disana perlahan melambat dengan sendirinya. Mataku yang tertarik pada sebuah pemandangan dua orang siswa dan siswi sedang melintasi lapangan ditengah derasnya hujan dengan cukup mesra berpayungkan sweater abu-abu yang tak mungkin tak kukenali siapa pemiliknya. Dengan jelas pula si pemilik sweater yang kini sedang dengan baik hati memayungi dirinya dan gadisnya menuju lorong panjang tempat aku terpaku kini. Tanpa kusadari map dalam pelukanku terlepas terbawa angin. Fokusku masih saja pada sepasang siswa-siswi yang kini sudah berada beberapa meter dihadapanku. Saga dan teman perempuan sekelasnya.

Tangan Saga yang langsung merapikan helaian rambut perempuan itu pun membuatku berpikir dengan masuk akal. Tidak mungkin mereka hanya berteman dengan sikap perhatian seperti itu. Seketika itu pula aku menyadari map-ku telah tergeletak basah kuyup ditepi garis lapangan. Buru-buru aku memungutnya tanpa menghiraukan diriku yang pastinya akan basah juga.

"Ra, lo ujan-ujanan?"

"...."

"Ra?"

"Da... catetannya basah semua. Gimana dong?"

"Lo kenapa Ra? Kok mata lo merah?"



S A G ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang