Sudah hampir jam dua belas malam, tapi Karin tak bisa tidur. Di sebelahnya, Zack berbaring dengan tenang. Pria itu langsung tidur begitu merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Masalahnya, Karin tak tahu apa yang akan dilakukan Zack jika Karin tidur nanti.
Ugh! Gara-gara Marin ....
Karin memekik kaget ketika tiba-tiba kegelapan memenuhi ruangan. Ia refleks meraih ke arah Zack, berpegangan pada apa pun bagian dari pria itu yang bisa disentuhnya. Mati lampu, kah?
"Zack?" Karin memanggil pria itu, tapi tak ada jawaban.
Zack benar-benar tidur lelap.
Karin menyeret tubuhnya mendekat ke arah pria itu, sampai ia merasakan tubuhnya menabrak tubuh Zack. Masa bodoh. Yang terpenting, ia harus membangunkan Zack. Bagaimana jika ada pencuri atau perampok?
"Zack." Karin mengguncang bahu pria itu. "Zack, lampunya mati."
"Karin, aku tahu. Tapi, ini bibirmu nyaris kena bibirku. Kalau kamu nggak mau nyium aku, kamu bisa mundur sedikit."
Kalimat Zack itu membuat Karin refleks menarik diri, meski ia masih memegangi Zack, lengannya.
Karin mendengar desahan berat napas Zack.
"Biar aku cek dulu, kamu tunggu di sini." Zack menarik tangan Karin dari lengannya, tapi Karin malah makin erat berpegangan.
"Aku ikut," kata Karin. "Aku nggak mau sendiri di sini. Gimana kalau ada pencuri yang udah masuk ke rumah?"
Desahan lelah. "Oke, ayo ikut."
Karin mengangguk, lalu beranjak duduk bersama Zack. Ia bisa saja melepaskan tangan Zack sekarang dan mencarinya lagi nanti, tapi Karin menolak cara tidak praktis itu. Ia terus berpegangan pada Zack ketika turun dari tempat tidur. Ia mengaduh pelan ketika kepalanya terantuk bahu Zack dalam usahanya itu.
"Jangan banyak gerak," ucap Zack dalam geraman.
"Kalau aku nggak gerak, gimana aku bisa jalan?" balas Karin dalam desisan.
Zack berdehem. "Biar aku yang megangin kamu, kalau gitu."
"No way! Kamu pasti mau cari kesempatan dalam kesempitan," sengit Karin.
"Kalau itu yang aku lakuin, dari tadi kamu mungkin udah ada di pelukanku, di atas tempat tidur." Suara Zack terdengar berat.
"Kamu dari tadi bukannya udah tidur, ya?"
"Gimana bisa aku tidur kalau dari tadi kamu gerak terus di sebelahku?" Zack terdengar kesal.
"Sorry, oke? Salahku karena kita nikah dan adikku nginap sini dan kita harus tidur di atas tempat tidur yang sama. Makanya, kenapa kamu nggak tidur lantai aja?" sembur Karin.
"Oh, kamu dan mulut cerdasmu itu! Satu kata lagi dan aku akan nyium kamu di sini." Zack serius dengan ancamannya.
Karin berdehem.
Zack akhirnya mulai berjalan ke arah pintu. Karin mulai bisa melihat samar benda-benda di sekelilingnya. Namun, ia mengaduh ketika kakinya terantuk lemari buffet di dekat pintu. Merasakan Zack menatapnya, Karin segera berkata,
"That's not even a word."
Zack mendengus. Ia membuka pintu, Karin berpegangan lebih erat di lengan pria itu. Lalu, di depan pintu, terdengar suara nyanyian Marin dan Juno. Lagu happy birthday.
Apa Marin lupa hari ulang tahun Karin? Itu masih beberapa bulan lagi.
"Happy birthday, Brother!" seru Juno di akhir lagunya. "Mama sama Papa titip salam dan mereka kangen kamu."
Karin menoleh pada Zack. Dari cahaya lilin, ia bisa melihat ekspresi terkejut yang perlahan berganti haru di wajah Zack. Ini hari ulang tahunnya. Astaga!
"Kak, itu bisa tolong dilepas dulu, nggak?" Suara Marin membuat Karin menoleh pada adiknya itu.
"Apa?" Karin menatapnya tak mengerti. Ia masih bingung dengan situasi mendadak ini.
Marin mengedik ke arah tangannya. Karin menunduk, lalu refleks melepaskan lengan Zack yang dipeluknya erat.
"Make a wish, Zack!" buru Marin.
Karin memperhatikan Zack yang tersenyum hangat, menutup mata, sebelum meniup lilinnya.
"Sebentar, aku nyalain listriknya," kata Juno, lalu terdengar langkah menjauh.
Begitu cahaya kembali menyapa mata Karin, ia menyipitkan mata, beradaptasi.
"Okay, Birthday Boy, siapa yang akan nerima potongan pertamanya?" Marin terdengar riang.
Karin terkejut ketika Zack menatapnya. "No, I'm okay."
"Kamu belum ngucapin apa pun ke dia, Kak." Marin memutar mata.
"Oh." Karin berdehem. "Happy Birthday," ucap Karin canggung seraya mengambil jarak dari Zack.
"My wife," Zack berkata seraya mengambil sepotong cherry di atas kue yang dibawa Marin.
Karin belum sempat menolak ketika Zack memasukkan sebutir cherry ke mulutnya sendiri, lalu menunduk ke arah bibir Karin dan memindahkan cherry itu ke bibir Karin. Ia sempat merasakan hangat bibir Zack sebelum pria itu menarik diri.
"Makasih buat ucapannya." Zack tersenyum seraya mendorong masuk cherry yang masih di ujung bibir Karin dengan jari telunjuknya.
"Seandainya sekarang kalian belum nikah, aku pasti udah nyekik kamu, Zack." Marin mengucapkannya sembari tersenyum. Senyum mengerikan.
Zack berdehem. "Ayo potong kuenya." Ia memutar bahu Marin dan mendorongnya ke ruang tengah.
Sementara, di tempatnya, Karin berusaha menenangkan debaran jantungnya yang menggila. Ia mendesis kesal ke arah Zack sembari menggigit cherry di mulutnya. Untung buah ini manis. Jika tidak, Karin yang akan mencekik Zack lebih dulu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
This is How You Fall in Love (End)
RomanceKarin terpaksa harus menikah dengan teman Marin, setelah adiknya itu memergoki Karin berciuman dengan Zack, sahabat Marin. Tidak, itu bukan ciuman. Itu kecelakaan. Marin yang terlalu overprotektif pada Karin, memaksa Zack bertanggung jawab menikahi...