"Jangan bikin ribut di depan pintu dan masuk, deh! Malu-maluin aja!"
Marin mematung di tempat, sementara tatapannya lekat ke arah sosok yang kini berbalik dan pergi ke ruang tamu. Marin sampai tersandung ketika hendak menyusulnya. Juno memeganginya dan menuntunnya sampai mereka tiba di ruang tamu.
Di sana, di sofa, Karin duduk dengan tangan terlipat di dada dan tatapan tajam ke arah Marin.
"Berapa kali Kakak bilang, nangis nggak akan nyelesaiin masalah?" sebut Karin.
Namun, setelah mendengar kalimat itu, Marin justru menangis keras sembari menghambur ke arah kakaknya. Dipeluknya erat kakaknya itu. Karin benar-benar ada di sini. Dia kembali.
"Kak, maafin aku, Kak. Maafin aku ..." ucap Marin di sela tangisnya. "Aku janji, aku nggak akan ngelakuin itu lagi, jadi jangan tinggalin aku, Kak."
"Berhenti nangis," perintah Karin, tidak dengan nada keras, tapi tegas.
Marin menarik diri dan berusaha menghentikan tangisnya. Ia sesenggukan.
"Apa sekarang kamu masih mikir kalau kamu bisa ngawasin hidup Kakak?" singgung Karin.
Marin merengut. "Kak Karin pergi ke mana selama ini?"
"Sekarang kamu tahu, kan, kalau aku bisa keluar dari radarmu?" balas Karin tanpa menjawab pertanyaan Marin.
"Maaf, Kak." Marin sepenuh hati menyesalinya.
Akhirnya, Karin tersenyum. Dia menjitak kepala Marin pelan.
"Gimanapun juga, aku ini kakakmu. Dan apa pun yang terjadi, aku nggak akan ninggalin kamu. Jadi, jangan pernah ngelakuin hal kayak gitu lagi. Nggak ada orang yang suka diawasi dan diatur hidupnya. Nggak ada orang yang suka direbut kesempatan buat ambil keputusannya," ucap Karin. "Ini hidupku, jadi aku berhak buat mutusin apa yang akan aku lakuin sama hidupku."
"Maaf, Kak. Waktu itu ... Kakak sampai trauma dan ngejauh dari semua laki-laki gara-gara Kak Darwin. Aku juga nggak suka lihat Kakak nangis gara-gara Kak Darwin. Aku nggak mau Kakak kayak dulu lagi, makanya, aku nggak mau Kakak ketemu Kak Darwin lagi," terang Marin.
"Trus?" tuntut Karin.
"Aku selama ini ngawasin Kakak karena aku khawatir Kakak terluka. Aku juga takut Kakak akan pergi ninggalin aku, jadi ..."
"Itu, Kakak tahu," putus Karin.
Marin menunduk. "Maaf, Kak."
"Dan alasan kamu nyuruh aku nikah sama Zack?" singgung Karin.
Marin kembali menatap Karin dan menjelaskan berapi-api, "Itu bukan salah Zack, Kak. Itu salahku. Aku yang maksa dia buat nikahin Kakak. Sebenarnya, aku sama sekali nggak ada pikiran buat maksa Kakak nikah sama sembarang laki-laki. Cuma sama Zack. Karena aku tahu dia suka sama Kakak dan aku tahu dia nggak akan nyakitin Kakak. Juga ... dia orangnya baik. Dia juga ... tampan. Pintar juga. Udah mapan juga. Trus ..."
"Zack sebaik itu?" Karin menyangsikan.
Marin mengangguk kuat. "Makanya, aku mau Kakak nikah sama dia. Karena aku tahu dia. Dan aku tahu ... Zack nggak akan pernah ngelepasin Kakak apa pun yang terjadi." Marin meringis.
Karin mengernyit.
"Kak, tolong pulang ke rumah, Kak. Sejak Kakak pergi, Zack jadi ... berantakan. Banget. Dia hancur. Dia ... ah, Kakak nanti lihat sendiri aja. Dia ..."
"Aku akan ngambil keputusan atas hidupku, Marin," Karin memotong.
Marin membuka mulut, tapi menutupnya lagi. Tahu, ia tak berhak berbicara di sini. Meski begitu, teringat kondisi Zack, mata Marin kembali memanas.
"Aku nggak akan minta apa pun lagi dari Kakak. Tapi ... tolong selamatin Zack, Kak," pinta Marin.
Ia menunduk untuk menyembunyikan air matanya dari Karin.
"Dan ini aku nggak nangis. Aku kelilipan," Marin berkata sebelum Karin berkomentar. "Aku tahu kok, nangis nggak akan nyelesaiin masalah. Makanya aku ngomong sama Kakak."
Terdengar helaan berat napas Karin. "Masalah Zack ..."
"Kak Karin cinta pertamanya Zack." Juno berbicara. "Sejak pertama Zack lihat Kak Karin."
Tak ada balasan.
"Dan itu nggak berubah sampai sekarang," lanjut Juno. "Kalau Kak Karin beneran ninggalin Zack, mungkin dia beneran akan mati. Ngelihat kondisi dia sekarang."
"Bukan cuma dia yang terluka," ketus Karin. "Seenggaknya, dia harus tahu gimana sakit yang aku rasain."
"Dia tahu. Makanya dia sehancur itu," balas Juno. "Sekarang, satu-satunya keluarga yang dia punya cuma Kak Karin. Karena itu, sampai mati pun, dia akan nungguin kamu. Kalau kamu cukup percaya diri buat ngelihat dia mati perlahan, aku nggak akan ngomong apa pun lagi, Kak."
Marin hati-hati mengangkat pandangan untuk menatap kakaknya. Sesaat, ia melihat keraguan Karin. Namun, kakaknya lantas menarik napas dalam dan mengambil keputusan,
"Dia juga satu-satunya tempat aku bersandar. Tapi, dia juga ngejatuhin aku sekeras ini. Apa aku kelihatan sebodoh itu buat jatuh di lubang yang sama? Lagian, kalaupun dia mati, dia nggak mati sendirian. Si brengsek itu udah sukses bikin aku jatuh cinta. Dengan cara paling menyakitkan."
Marin mengernyit. Ia tak pernah tahu, perasaan Karin untuk Zack ... sedalam ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
This is How You Fall in Love (End)
RomanceKarin terpaksa harus menikah dengan teman Marin, setelah adiknya itu memergoki Karin berciuman dengan Zack, sahabat Marin. Tidak, itu bukan ciuman. Itu kecelakaan. Marin yang terlalu overprotektif pada Karin, memaksa Zack bertanggung jawab menikahi...