"Zack!" seru Karin seraya merentangkan tangan ke depan, menahan dada Zack.
Zack berhenti, tapi ia mendekatkan wajahnya ke wajah Karin. "Sekarang kamu percaya, kan?"
Karin menunjukkan sorot tak percaya. "Jangan bodoh. Aku tahu kamu, Zack. Kamu nggak akan ..."
Zack tak membiarkan Karin melanjutkan kalimatnya. Ia bisa merasakan keterkejutan Karin dari bibirnya yang sudah bersentuhan dengan bibir Zack. Rasa bersalah seketika melingkupinya ketika mendapati dirinya menyukai ini, sementara Karin berusaha mendorongnya.
Zack sudah menyiapkan diri menerima tamparan dari Karin ketika ia mundur, tapi mengejutkannya, Karin malah berdiri mematung di depannya. Tatapan matanya kosong.
"Kenapa kamu ngelakuin ini?" tuntut Karin, masih dengan tatapan kosongnya.
Zack mengulurkan tangan, menyentuh wajah Karin lembut. "Hei, lihat aku," ucapnya dengan nada sama lembutnya.
Karin akhirnya menatap Zack, tapi air mata sudah nyaris jatuh dari pelupuk matanya.
"Kita bisa ngelakuin ini. Kita bisa jalanin pernikahan ini. Aku di sini. Nggak ada yang perlu kamu takutin. Nggak ada yang perlu kamu khawatirin." Zack menggenggam tangan Karin.
"Bahkan kamu pun nggak ngedukung pilihanku, kan?" Suara Karin bergetar.
Akhirnya Karin jatuh juga. Ia menangis di hadapan Zack. Zack mengernyit. Ia mengambil langkah, mendekat, dan menarik wanita itu dalam peluknya. Saat itu juga, Zack merasa ia jatuh. Bersama Karin.
***
Karin menyusut hidungnya dengan tissue, dan menyerahkan tissue-nya pada Zack yang sudah mengulurkan tangan. Zack lalu memberikan beberapa lembar tissue yang baru di tangan Karin sebagai gantinya. Karin sudah menyerah mempertahankan harga dirinya di hadapan anak ini.
"Kalau kamu udah baikan, aku antar pulang," tawar Zack.
"Aku nggak mau pulang," tukas Karin.
"Trus, kamu mau ikut aku pulang?"
Karin menatap Zack tajam. "Aku mau ke butik."
Zack menghela napas berat. "Nanti Marin khawatir kalau kamu nggak pulang."
"Dia bahkan nggak akan peduli," ketus Karin. "Dia tahu aku akan ngelakuin apa pun yang dia minta. Gimana bisa dia ngelakuin ini ke aku?"
"Marin emang keterlaluan, sih," Zack menyetujui.
"Kamu juga sama," serang Karin. "Bisa-bisanya kamu ..."
"Nanti aku akan bilang ke Marin kalau aku nyium kamu lagi," ucap Zack santai.
"Kamu juga sebenarnya kenapa sih, Zack? Aku nggak ngerti kenapa kamu ngelakuin ini, beneran!" Karin frustrasi. .
"Perlu aku tunjukin lagi?" Zack mencondongkan tubuh ke arah Karin.
Refleks Karin menahan bahu Zack.
"Pasti Marin yang nyuruh kamu." Karin yakin, hanya itu alasannya.
"Dia adalah orang yang paling marah waktu tahu aku nyium kamu," dengus Zack.
"Trus, kenapa? Ya ampun, Zack! Alasanmu tuh, nggak masuk akal!" geram Karin.
"Kalau aku bilang, aku suka kamu, kamu juga nggak akan percaya, kan?" sebut Zack.
Karin mendengus kasar. "Itu lebih nggak masuk akal." Ia lalu kembali menyusut hidungnya.
"Trus, alasan apa yang akan kamu terima?" Zack mengulurkan tangan, meminta tissue yang barusan digunakan Karin.
"Nggak ada alasan kamu mau nikah sama aku, Zack," tegas Karin.
"Aku pengen kamu, apa itu bukan alasan?" balas Zack.
Karin mengerutkan kening jijik. "Itu nggak lucu."
"Biar aku tegasin situasiku sekarang. Aku pengen kamu dan aku sama sekali nggak pengen perempuan lain. Jadi, aku akan nikah sama kamu, oke?" Zack menatap Karin, seolah ia sudah memberikan penjelasan paling masuk akal yang mutlak.
"Karin ..."
"Aku lebih tua tiga tahun dari kamu," sela Karin tajam.
Zack mendengus. "Cuma tiga tahun ini."
"Hei!"
"Kita toh akan nikah," ungkap Zack.
"Nggak!" tolak Karin keras.
"Kalau kamu bisa ngeyakinin Marin buat itu, silakan. Aku akan ngomong ke dia kalau aku mau nikah sama kamu. Dan itu juga yang akan aku ucapin ke orang tuamu." Tak terdengar keraguan sedikit pun dalam kalimat Zack.
"Jangan buat aku benci kamu, Zack," Karin memperingkatkan.
"Kamu bisa ngebenci aku sepuasmu. Tapi, kita akan tetap nikah." Zack memperbaiki posisi duduknya dan menyalakan mesin mobil. "Seat belt," ia mengingatkan Karin sembari memasang seat belt-nya sendiri.
Meski kesal, Karin menuruti perintah Zack.
"Aku nggak mau pulang ke rumah," Karin menyebutkan.
"Kamu mau makan apa? Tenagamu pasti udah habis dipakai teriak-teriak sama nangis hampir satu jam tadi," ucap Zack.
Karin menatap Zack kesal. Karena siapa Karin menangis tadi?
"Marin bilang, kamu suka makanan pedas. Apa?" kejar Zack.
"Aku nggak lapar," ketus Karin.
"Kalau gitu, kita pergi ke tempat kesukaanku. Aku lapar," aku Zack.
Karin lalu teringat, tadi siang Zack pasti belum makan karena menunggunya di rumah mamanya.
"Kamu mau makan apa?" tanya Karin.
"Seafood. Aku suka seafood," Zack memberitahu.
"Aku tahu kalau kamu suka seafood. Marin udah pernah bilang," balas Karin.
"Aku paling suka ikan bakar," lanjut Zack. "Dan aku nggak begitu suka pedas."
Karin mengerutkan kening. "Makanan pedas itu bisa jadi stress reliever juga, tahu?"
"Aku nggak punya banyak stres kayak kamu," sahut Zack.
Karin mendesis kesal. Namun, ia lantas berkata, "Di restoran favoritku ada menu seafood-nya. Enak, katanya."
Zack meliriknya. "Kita ke sana?"
Karin mengedik. "Kalau kamu mau ..."
"Ya, aku mau. Kamu?" Zack balik bertanya.
Karin sudah akan menjawab ketika ia menyadari ada yang janggal. Ia menoleh pada Zack.
"Ini pertanyaan buat apa?" tuntut Karin.
Zack menoleh sekilas. "Pernikahan kita."
Karin refleks mengumpat menanggapinya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
This is How You Fall in Love (End)
RomanceKarin terpaksa harus menikah dengan teman Marin, setelah adiknya itu memergoki Karin berciuman dengan Zack, sahabat Marin. Tidak, itu bukan ciuman. Itu kecelakaan. Marin yang terlalu overprotektif pada Karin, memaksa Zack bertanggung jawab menikahi...