Chapter 17-2 So, This is Why They Called it Storm

8.5K 651 81
                                    

"Zack!" bentak Karin kesal pada suaminya itu. Sedari tadi, pria itu terus menggoda Karin dengan ciuman-ciuman tanpa henti di rambut dan bahu Karin. Padahal, Karin sedang sibuk mengecek laporan dari manajernya.

"Harusnya kamu libur aja hari ini. Aku juga hari ini nggak berniat ngantor," Zack berkata seraya berlutut di sebelah Karin dan menyandarkan kepalanya di meja kerja Karin.

"Kamu harus ngeberesin masalah kantormu dulu," Karin mengingatkannya.

Zack mengerang nelangsa. Melihat ekspresi Zack, Karin tak tega juga. Ia menangkup wajah Zack dan memberinya ciuman manis. Pria itu mengerang protes ketika Karin mengakhiri ciumannya.

"Nanti aku akan pulang lebih awal dan pergi ke kantormu," janji Karin.

Zack merengut. Oh, menggemaskan sekali! Karin tak pernah melihat Zack merajuk seperti ini sebelumnya.

"Begitu masalah kantormu beres, ayo kita liburan," ajak Karin kemudian.

Seketika, mata Zack melebar penuh semangat. "Liburam?"

Karin mengangguk. "Seminggu. Honeymoon."

Zack seketika berdiri. "What moon?" tanyanya antusias.

Karin tersenyum geli. "Honeymoon. Yeah, that moon." Ia menirukan kalimat Zack dulu.

Karin terkejut ketika Zack menariknya berdiri dan menciumnya habis-habisan di sana. Pria itu tersenyum lebar meski Karin melotot kesal karena serangan mendadaknya.

"Oke," ucap Zack. "Dan aku nggak akan ngebiarin kamu keluar dari kamar pas kita bulan madu madu nanti." Pria itu mengerdip usil.

Karin memukul lengan Zack sebagai balasannya. "Udahan bercandanya, dan sekarang kerja sana!" usir Karin.

"Aku nggak bercanda," sahut Zack enteng. "Dan satu ciuman lagi, baru aku pergi," Zack meminta syarat.

Karin memutar mata. Namun, ia menuruti Zack dan berjinjit untuk mencium pria itu. Namun, Zack menahan tengkuk Karin dan membuat Karin sampai terengah kehabisan napas akibat ciuman itu.

Pria itu tersenyum puas sebelum akhirnya benar-benar pergi. Sepeninggal Zack, Karin berjalan ke jendela kaca dan melihat ke bawah. Seolah tahu Karin akan ada di sana, Zack langsung menoleh ke arah jendela ruangan Karin begitu keluar dari butik. Pria itu melambaikan tangan dengan senyum lebar ketika berjalan ke mobilnya.

Karin tak dapat menahan senyum ketika membalas lambaian tangan pria itu. Bahkan setelah mobil Zack tak kelihatan lagi, bibir Karin masih melengkung tersenyum. Jatuh cinta ... benar-benar menakjubkan. Bahkan hanya dengan memikirkan orang yang kita cinta, kita bisa merasa sebahagia ini.

Karin kembali ke meja kerjanya, hendak menyalakan laptop, tapi tatapannya jatuh pada ponsel di samping laptopnya. Itu bukan ponselnya. Ponsel Zack. Karin dengan panik berdiri, tapi ia sadar, tidak mungkin mengejar Zack. Mengingat pentingnya ponsel itu, Karin memutuskan untuk mengantarkan ke kantor Zack saja.

Karin menemui manajernya dan lebih dulu menitipkan beberapa hal yang harus ia lakukan untuk Karin hari ini. Mengingat bagaimana dulu Zack pernah menemani Karin bekerja, sepertinya tidak buruk juga jika Karin menemani Zack bekerja sampai makan siang nanti.

Ketika Karin akan keluar dari butik, ponsel Zack berbunyi. Ada telepon masuk. Dari Marin.

"Marin, ini aku. Zack tadi ..."

"Aku tahu," Marin memotong. "Satu jam yang lalu dia ngirim chat, nyuruh aku nelepon ke nomernya satu jam lagi dan minta Kak Karin buat ngantar hape ini ke kantor Zack. Dan dia nyuruh aku negasin kalau hape ini penting banget."

Karin mendengus geli mendengar itu. "Dia sengaja ninggal hapenya di tempatku?"

"Itu berarti, dia tahu banget kamu, Kak. Nggak ada yang bisa ngalahin kerjaanmu. Ya, kan?" cibir Marin.

Karin tertawa pelan. "Sekarang ada. Dan aku mau ke tempat orang itu." Karin lalu menutup telepon dan menyimpan ponsel Zack di tasnya.

Teringat tingkah konyol Zack, Karin tersenyum geli. Pria itu benar-benar ....

"Karin."

Suara itu membuat Karin mendongak. Senyum di bibirnya seketika lenyap, seiring tubuhnya seolah diguyur air dingin. Sosok tinggi berambut cepak itu berdiri di pintu butiknya. Meski sudah sekian tahun berlalu, Karin masih mengenalinya.

"Kak Darwin." Karin menyebutkan nama pria itu pelan, nyaris seperti bisikan.

Pria itu tersenyum. Bahkan senyumnya masih sama.

"Akhirnya, aku nemuin kamu juga."

Karin mengernyit. Setelah sekian tahun ...

"Maaf, karena aku baru datang sekarang."

"Harusnya kamu nggak pernah datang lagi," jawab Karin dingin.

"Karin ..."

"Aku nggak tahu apa alasanmu pergi sembilan tahun lalu, tapi sekarang aku nggak peduli," potong Karin tegas. "Permisi, aku harus pergi."

Karin melewati pria itu dan keluar dari butiknya. Namun, langkahnya terhenti ketika pria itu berbicara,

"Marin bilang, kamu udah nikah."

Karin mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Kenyataan itu membuatnya merasa lebih kuat. Ia memutar tubuh dan menatap Darwin.

"Ya. Aku udah nikah." Karin mengumumkan dengan bangga.

Darwin tersenyum getir. "Aku ... kayaknya pergi terlalu lama, ya?"

Karin menahan napas. "Dan seharusnya kamu nggak pernah balik. Buat apa kamu balik sekarang?" sinisnya.

"Aku cuma perlu ngejelasin semuanya ke kamu. Alasan aku pergi sembilan tahun lalu," terang Darwin.

"Aku nggak butuh penjelasanmu," tolak Karin.

"Karena aku mencintai kamu." Pernyataan Darwin membuat Karin mengernyit.

"Kamu ninggalin aku, pergi gitu aja tanpa pamit, tanpa kabar, karena cinta sama aku?" sinis Karin.

"Waktu itu aku bukan siapa-siapa. Begitu aku lulus kuliah, aku nemuin papamu buat minta restu. Aku mau serius sama kamu. Tapi, waktu itu aku bukan siapa-siapa. Itu jawaban papamu. Karena itu, aku pergi dan berjuang buat kamu. Tapi ... waktu aku balik, semua udah terlambat." Darwin tersenyum kecut.

Apa ini? Cerita apa lagi ini? Karin tak pernah tahu ...

"Tiga bulan lalu, aku pulang untuk nyari kamu. Tapi, waktu aku sampai di sini, Marin nemuin aku di bandara. Dia bilang, kamu udah nikah dan tinggal di luar negeri. Tapi, beberapa waktu lalu, teman kuliahmu ada yang ngasih tahu aku, kalau kamu ada di negara ini. Karena itu, aku ..."

"Tunggu!" Karin memotong. "Tiga bulan ... lalu? Dan Marin ... nemuin kamu di bandara?"

Darwin mengangguk. "Aku juga nggak tahu gimana dia tahu tentang kepulanganku. Tapi ..."

"Marin," Karin kembali memotong, "dia beneran ketemu Kak Darwin?" Karin memastikan.

Darwin mengangguk, tapi tampak bingung. "Marin ... nggak ngomong apa pun ke kamu?"

Karin menarik napas dalam. "Tanggal berapa tepatnya Kak Darwin ketemu Marin?"

Darwin mengerutkan kening, mengingat-ingat. Ia menyebutkan bulan ... lalu tanggal.

Seminggu sebelum Marin memaksa Karin menikah dengan Zack. Jadi, ini alasannya?

Karin mengepalkan tangan marah. Marin benar-benar keterlaluan!

***

This is How You Fall in Love (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang