With You
Karin melirik Zack, lagi, tapi pria itu masih saja menyetir dalam diam. Setelah pertunjukkan di restoran tadi, Karin dibanjiri pujian dan ucapan terima kasih dari teman-temannya di chat grup. Berkat Zack. Mereka bilang, Zack romantis, ramah, baik, tampan dan ... serasi dengan Karin.
Berbeda dengan suasana chat grup yang penuh pujian menyenangkan itu, sedari tadi Karin dan Zack terjebak dalam diam yang menyebalkan. Jika memang Zack masih marah pada Karin, kenapa pula dia datang tadi? Lagipula ... tunggu! Bagaimana Zack bisa tahu tentang acara hari ini? Oh, Karin terlalu larut dengan sambutan hangat teman-temannya berkat kebaikan Zack hingga melupakan fakta penting itu.
"Gimana kamu bisa tahu ada acara tadi? Gimana kamu bisa ada di sana?" tuntut Karin tanpa basa-basi.
"Butuh tiga puluh menit lebih buat kamu nanyain itu," balas Zack enteng.
Karin mengerjap. Pria itu menjawabnya. Dia bicara pada Karin. Tunggu, bukan itu yang terpenting.
Karin berdehem. "Kamu tahu dari siapa aku ada acara reuni tadi?" Karin mengulangi.
"Selain itu, nggak ada lagi yang pengen kamu tanyain ke aku?" Zack balik bertanya.
Ada. Banyak sekali pertanyaan yang ingin dilontarkan Karin. Seperti, ke mana saja pria itu pergi setiap malam ketika tak pulang ke rumah? Juga, apakah dia pergi pada sekretaris jalangnya? Lalu, apakah dia masih marah pada Karin?
Namun, Karin menjawab, "Nggak ada."
Zack kemudian terdiam. Pria itu tak bertanya, atau mengatakan apa pun lagi sampai mereka tiba di rumah. Namun, Karin tak bisa tinggal diam ketika Zack masih diam saja di kursi kemudi, begitu mereka tiba di depan rumah.
"Kamu nggak turun?" Karin tak tahan untuk bertanya.
"Aku harus balik ke kantor," jawab Zack dingin.
Karin mengernyit. "Ah. Kamu mau ketemu sekretarismu itu?" dengus Karin.
Zack menoleh padanya. "Aku udah bilang, aku nggak pengen perempuan selain kamu. Siapa pun itu," Zack menegaskan.
"Kalau gitu, pecat sekretarismu." Karin bahkan tak berpikir ketika melontarkan permintaan itu.
"Kenapa? Kamu masih nggak percaya, kalau aku nggak ada hubungan apa-apa sama dia?" sinis Zack.
"Makanya, pecat sekretarismu itu," sengit Karin.
"Dia ngelakuin pekerjannya dengan baik. Nggak ada alasan buat aku mecat dia sekarang," tandas Zack.
"Nggak ada alasan?" Karin mendengus tak percaya. "Oke, terserah. Aku juga nggak peduli kamu malam ini mau tidur sama dia atau sama siapa pun. Jadi, pergi aja."
Setelah melemparkan kata-kata itu, Karin turun dari mobil dan membanting pintu mobil keras. Namun, detik ketika Karin masuk ke dalam rumah dan menutup pintunya, terdengar derum mobil Zack. Pria itu benar-benar pergi.
Karin menggigit bibir. Bajingan itu ...
Karin menunduk dan mencengkeram dadanya yang terasa sakit. Seketika, ia teringat bagaimana Zack selalu mengalah padanya. Dalam banyak hal. Namun, sepertinya pria itu sudah lelah mengalah terus kepada Karin.
Berani-beraninya dia mengatakan dia tidak akan menyakiti Karin! Lihat apa yang dia lakukan pada Karin kini!
Karin mengusap matanya yang basah dengan punggung tangannya. Tidak. Karin tidak akan menangis karena bajingan seperti Zack. Ia tidak akan menangis lagi untuk pria. Ia menangis ... karena Zack meninggalkan mobil Karin di restoran.
Ketika mereka pulang dari restoran tadi, Zack mengajak Karin pulang dengan mobilnya dan mengatakan karyawannya akan mengambil mobil Karin di restoran. Namun, sampai saat ini juga mobil Karin belum diantarkan. Apa Zack tahu, itu mobil kesayangan Karin yang ia beli dengan hasil kerjanya sendiri?
Zack memang keterlaluan.
***
"Kakakku bisa cemburu juga, ya?" dengus Marin geli setelah Zack menceritakan tentang sekretarisnya. "Well, dia toh udah pernah bilang kalau dia cinta sama kamu." Marin tersenyum geli.
"Ini sama sekali nggak lucu," geram Zack.
"Bukannya masalahnya beres kalau kamu udah mecat sekrtarismu itu, ya?" sebut Juno.
"Bukan itu masalahnya," tepis Zack. "Sejauh apa sebenarnya Karin nggak percaya sama aku?"
"Yah, setelah kejadian dulu itu, Kak Karin emang paling anti percaya sama laki-laki," beritahu Marin.
"Tapi, aku ini suaminya," desis Zack.
Marin mengangkat alis.
Zack mendesah berat. "Apa pun alasannya, aku tetap suaminya."
Marin meringis. "Sori, karena aku ngelibatin kamu dalam masalah keluargaku," ucapnya pelan.
"Kapan kamu berencana ngomong ke Karin yang sebenarnya?" tuntut Zack.
"Harapanku sih, aku nggak perlu ngomog ke Kak Karin. Sampai kapan pun." Marin mendesah lelah.
Zack mendecak kesal. "Suatu saat, aku akan ngomong ke dia," tegasnya.
"Zack!" tegur Marin.
"Dia berhak tahu!" sentak Zack. "Dan aku nggak suka harus nutupin sesuatu dari dia. Kamu tahu gimana perasaanku ke dia. Jadi, jangan buat aku jadi orang yang dia benci. Aku udah cukup ngerasain itu. Berkat kamu."
Marin menatap Zack penuh sesal. "Sori, Zack. Tapi, aku terlalu mencintai kakakku. Aku takut kehilangan dia. Cuma dia yang aku punya."
Zack mengernyit.
"Terkadang, kita terlalu dimanjakan kebahagiaan. Sampai kita jadi penakut di depan kehilangan. Itu yang terjadi sama aku. Aku nggak mau kehilangan kakakku. Nanti, suatu saat, kamu pasti akan tahu gimana perasaanku." Marin tersenyum sendu.
Tidak perlu menunggu nanti, bahkan saat ini pun, kehilangan Karin adalah hal yang paling tak diinginkan Zack.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
This is How You Fall in Love (End)
RomanceKarin terpaksa harus menikah dengan teman Marin, setelah adiknya itu memergoki Karin berciuman dengan Zack, sahabat Marin. Tidak, itu bukan ciuman. Itu kecelakaan. Marin yang terlalu overprotektif pada Karin, memaksa Zack bertanggung jawab menikahi...