Sorry? What Moon?
Hingga pagi, Karin tak bisa tidur. Tidak sedetik pun. Kejadian di pintu kamar itu semalam masih melekat erat di kepalanya. Bahkan, setiap kali memikirkannya, Karin merasakan hawa tubuhnya naik, diikuti debaran kencang jantungnya. Sialan, Zack! Sialan bajingan itu!
Berada seminggu jauh dari Zack memberi Karin waktu untuk berpikir. Ia mendapat kesimpulan alasan Marin mendesaknya menikah memang tidak masuk akal. Dan ia pikir, Zack juga terlibat dalam rencana Marin. Namun, bukannya pengakuan yang didapatkan Karin, ia justru nyaris berada dalam bahaya.
Karin tak bisa lebih terkejut lagi melihat reaksi Zack tadi. Semua yang ia ucapkan begitu sungguh-sungguh. Ditambah lagi, Karin menyadari dengan jelas, –terima kasih pada Zack, kekuatannya tak seimbang dengan pria itu. Jika Karin menantang Zack berkelahi, tak diragukan lagi, ia akan kalah.
Oh! Harga dirinya benar-benar luluh lantak di bawah kaki pria itu beberapa jam lalu.
Karin tersentak ketika mendengar suara ketukan pintu. Ia segera beranjak duduk, tapi pintu itu tak terbuka. Lalu, ia mendengar suara Zack dari luar,
"Kamu udah bangun?"
"U ..." Karin berdehem ketika suaranya terdengar serak. "Udah!"
"Kalau gitu, buruan keluar. Ayo makan."
Setelah mengatakan itu, tak ada lagi suara. Zack pergi. Begitu saja.
Karin menghela napas lega.
Setelah insiden semalam, Zack tak lagi kembali ke kamar itu. Entah ia tidur di mana. Karin tidak peduli. Masalahnya, sekarang ia harus menghadapi Zack. Apa yang akan ia lakukan? Lebih tepatnya, apa yang akan ia katakan?
Masa bodoh!
Karin menendang selimut yang menutupi bagian bawah tubuhnya, lalu turun masih dengan mengenakan kaos longgar sepanjang lutut yang biasa ia pakai untuk tidur. Ini pakaian tidur termudah yang bisa ia temukan di kopernya yang belum dibongkar. Entah di mana ia melesakkan piyama tidurnya yang tentu jauh lebih sopan dari pakaiannya saat ini.
Ketika tiba di pintu, Karin menghentikan langkah dan menunduk. Pakaian ini tidak terlalu pendek, kan?
"Karin!" Seruan dari luar membuat Karin menggeleng dan membuka pintu.
Zack tidak akan tergoda hanya dengan pakaian seperti itu. Toh Karin bukannya berjalan telanjang di depannya. Zack tidak mungkin ...
Oh, tidak mungkin!
Karin mematung di pintu dapur ketika mendapat tatapan lekat Zack yang terarah ke kakinya.
"Aku bisa ganti baju kalau kamu bisa sabar nunggu buat sarapannya." Karin berjalan mundur.
"Nggak perlu," tukas Zack. "Kamu kelihatan nyaman pakai itu. Kamu bisa makai baju yang kamu rasa nyaman."
Karin diam-diam mendesah lega. Tidur dengan piyama memang bukan favoritnya.
"Kamu masak?" Karin mengganti topik.
Zack mengangguk. "Orak-arik telur."
"Wow." Karin tak bisa menyembunyikan senangnya. "Itu makanan favoritku waktu kecil."
"Kalau sekarang?" tanya Zack seraya memindahkan sepiring orak-arik telur ke meja makan.
"Masih suka, tapi aku nggak bisa masaknya. Sayurnya nggak pernah matang, jadi aku nyerah." Karin meringis setelah mengaku.
"Aku bisa ngajarin kamu." Zack menawarkan diri.
Karin tak langsung menjawab.
"Maaf, bukan maksudku sok bisa atau gimana, tapi aku ..."
"It's okay," Karin menyela. "Emang kamu bisa masak dan aku enggak. Itu kenyataannya."
"Bukan itu maksudku. Aku cuma ..."
"Jadi, apa yang disembunyiin Marin dari aku?" Karin menyerang tiba-tiba.
Ekspresi Zack seketika berubah.
Well, setidaknya sekarang Zack tahu, Karin masih belum menyerah.
***
Kenapa Marin selalu membawa masalah dalam hidup Zack? Kenapa Zack harus terlibat dalam masalah Marin? Karena mereka sahabat. Oke, Zack bisa mengerti itu. Namun, saat ini Zack benar-benar benci akan kenyataan itu.
"Semalam aku kurang jelas ngomongnya?" Zack sengaja menyinggung kejadian semalam.
Karin berdehem. "Tentang kamu yang ... tertarik secara fisik ke aku, oke, aku bisa terima. Meskipun aku nggak yakin, itu cukup buat alasan seseorang mau nikah." Wanita itu mengedik cuek.
"Ya, itu alasanku," tandas Zack.
"Tapi, karena kamu tahu gimana perasaanku, kamu nggak berharap aku akan ngasih apa yang kamu pengen dari aku itu, kan?" Karin mengangkat alis.
"Aku bisa nunggu," balas Zack.
Karin menggeleng. "Nggak perlu nunggu. Kamu bisa pergi begitu ketemu perempuan lain yang narik perhatianmu."
Zack mengernyit.
"Karena aku nggak akan mungkin tertarik sama kamu, jadi apa yang kamu harapkan dari aku nggak akan terjadi, oke?" Karin memberikan penjelasan seolah Zack anak berumur sepuluh tahun yang tak tahu apa-apa.
"Kalau aku bilang, aku suka kamu?" tanya Zack.
Karin seketika menyembur tertawa. "Kamu? Suka aku?" Karin berusaha meredakan tawanya. "Aku nggak tahu apa yang kamu lihat dari aku, tapi ... seleramu agak ... ehm! Well, maksudku, aku ini lebih tua dari kamu, kamu nggak lupa, kan?"
"Aku tahu itu. Tapi, itu nggak ngehalangin aku suka kamu," balas Zack.
"Ah." Karin mengangguk-angguk. "Kamu ... kok bisa suka sama aku? I mean ... kamu pasti punya banyak teman perempuan yang cantik, muda, pintar, seksi ...." Karin menyebutkan itu seraya memutar mata. Zack nyaris tersenyum melihatnya.
"Apa pun yang aku rasain ke kamu, itu hakku, kayaknya." Zack mempertegas.
Karin mengangkat tangan. "Oke. Itu hakmu. Oke, that's okay. Really."
Zackmengangkat sebelah alis. "Really?" iamemastikan.
***
Note:
Hi, Lovely..
Belakangan aku rajin banget dah update cerita ini. Like or not? 😂
Entahlah, kadang abis baca comment kalian jadi pengen update aja gitu. Terlalu bersemangat sayah tiap abis baca comment. 😂
KAMU SEDANG MEMBACA
This is How You Fall in Love (End)
Roman d'amourKarin terpaksa harus menikah dengan teman Marin, setelah adiknya itu memergoki Karin berciuman dengan Zack, sahabat Marin. Tidak, itu bukan ciuman. Itu kecelakaan. Marin yang terlalu overprotektif pada Karin, memaksa Zack bertanggung jawab menikahi...