Chapter IX

24.4K 1.1K 80
                                    

Selamat Membaca!

___

Althar : The Rubic

Chapter IX

“Semua orang punya batas kesabaran yang berbeda, Resta.”

Resta hanya bergumam pelan mendengar ucapan Tasya. Ia menatap suasana FO.OD yang cukup lenggang. Meminum kopi latte-nya lalu kembali terdiam.

“Lo harus kasih kepastian ke dia.”

“Tapi aku bingung, Sya. Pacaran cuma buat hubungan aku sama Althar asing kalo putus.”

Tasya tertawa pendek mendengarnya, “lo sayang banget sama dia sampe gak mau ambil resiko?”

“Bukan kaya gitu. Aku bingung jelasinnya.”

“Gini ya, Re. Mau ternyata lo kedepannya putus atau enggak sama Althar itu sama-sama ngasih lo keuntungan. Kalo putus ya berarti lo harus bersyukur dijauhin dari cowok bangsat. Kalo langgeng, selamat lo dapat cowok baik di percobaan pertama.” ucap Tasya sembari memakan kentang goreng, wajahnya tampak santai.

“Hidup semudah itu. Kapan lo tahu akan gagal kalo lo nggak nyoba dulu. Kalo lo gak suka sama dia yaudah bilang. Gue gak suka sama lo, Thar. Kita gak bisa pacaran. Bisa lo ngomong gitu?”

Resta menggeleng tidak bertenaga.

“Nah, gak bisa bilang, 'kan, lo? Lo suka sama dia tapi di sisi lain lo takut putus dan buat lo kehilangan dia.”

“Manusia itu datang dan pergi, Resta. Gak ada alasan pasti yang buat mereka bisa tetap tinggal. Siklus itu ada buat jadi pembelajaran. Manusia harus belajar untuk tumbuh dan bertahan hidup.”

“Lo yang terlalu sayang sama dia bisa buat lo jadi budak kalo sampe hal itu ganggu kontrol diri lo. Kasih batasan sampai mana hati lo buat dia, berapa bagian dari dunia lo yang bisa lo sharing ke dia, dan sampai mana lo tahu hidup dia. Cinta butuh batasan buat jadi baik.”

“Lalu, inget satu hal. Jangan bergantung pada manusia karena kita gak tahu pemikiran kaya apa yang ada di otaknya. Manusia bisa berubah, jangan bawa masa lalu buat jadiin alesan lo tetap tinggal.”

“Lo ngerti sekarang?” tanya Tasya sembari menangkup kedua pipi Resta agar menatapnya.

“Makasih ya kamu mau dengerin.” balas Resta memasang wajah sedih hampir menangis.

Tasya tersenyum lalu merentangkan kedua tangannya. Mereka saling berpelukan.

***

Siang itu, istirahat kedua. Para murid berbondong-bondong menuju kantin, sedangkan Resta berjalan di koridor seorang diri dengan pandangan menuju ke lapangan basket— tempat Althar dan teman-temannya beristirahat setelah latihan.

Mungkin benar kata Tasya, semua orang memiliki batas kesabarannya masing-masing. Dan satu bulan— bukan merupakan waktu yang sebentar.

Resta memperhatikan Althar sekilas.

Tampaknya masih sama. Tak ada yang berbeda bahkan dari senyum tipis laki-laki itu ketika membalas candaan teman-temannya.

Tujuan Resta adalah membuka lokernya, mengambil beberapa buku untuk pelajaran kimia setelah jam istirahat. Setelah menumpuk buku di tangan kiri Resta kembali mengunci lokernya dan berbalik untuk kembali ke kelas.

“Ini.”

Resta menatap gantungan kunci koala yang disodorkan padanya. Ia mendongak— menatap Althar yang juga menatapnya dengan wajah datar.

“Apa?”

“Gue ambil di jalan tadi pagi.” balas Althar singkat. Wajahnya tampak datar, namun telinganya memerah.

Resta mengernyitkan keningnya. Mana ada gantungan kunci yang terbungkus rapi terjatuh di jalan?

“Gak ada gantungan kunci kaya gini yang jatuh di jalan, Althar.”

“Tapi gue beneran nemu di jalan kok. Gue juga gak mungkin simpen gantungan alay kaya gini.”

“Bukan alay, ini lucu.” ucap Resta membenarkan sembari tersenyum.

“Yaudah, terserah. Intinya mau, nggak?” tanya Althar berusaha tak mempedulikan ekspresi Resta yang sepertinya ingin tertawa sedari tadi. Ia akan menjadi cowok cool— ia harus menahan tawa juga.

“Mau! Mana.” ucap Resta sembari merebut gantungan kunci koala berwarna abu-abu dari tangan Althar. Senyum gadis itu tampak lebar ketika memandangnya.

“Itu hewan kesukaan lo?”

“Iya, kamu tahu?”

“Enggak. Feeling aja.”

Resta tertawa mendengarnya, entah bagaimana cara Althar mencari tahu yang jelas laki-laki itu tak pintar membuat alasan.

“Gue gak bohong.”

“Iya, aku percaya. Makasih ya.”

“Besok mau ke Daun Buku bareng?”

“Kamu yakin ngajak aku?” Resta menatap Althar sembari menaikkan alis kanannya. Memastikan apakah laki-laki ini serius dengan ucapannya.

“Yakin, emangnya kenapa?”

“Hubungan kita akhir-akhir ini nggak baik. Aku belum ngasih kamu jawaban.”

Althar mengedikkan bahunya, “gue bisa nunggu lebih lama dari ini, Re. Gue juga gak bisa maksa lo buat nerima gue.”

“Diemin lo sebulan rasanya buat gue pengen mati.”

No! Ga boleh ngomong gitu.” peringat Resta galak.

Mendengar nada bicara Resta yang lebih tinggi Althar mengerucutkan bibirnya sebal, “yaudah peluk dulu. Gue kangen sampai mau gila, Re. Sekolah sialan ini ngurung gue tiga minggu cuma buat lomba gak berguna.”

“Althar, semua yang terjadi pasti berguna.”

“Yaudah peluk dulu, mau gue maki-maki orang lain juga?” ancam Althar sembari merentangkan kedua tangannya.

Resta memicingkan matanya. Perasaan dulu Althar ngga kaya gini! Dan lagi, keduanya kini menjadi pusat perhatian. Di tambah teman-teman Althar yang melihat keduanya dari lapangan basket. Ia tak segila itu untuk berpelukan di sini!

“Nanti peluknya, jangan di sini. Malu tau!”

“Bohong! Kalo nanti pasti gak jadi!”

“Beneran, jadi. Janji!” ucap Resta sembari menunjukkan jari kelingkingnya yang langsung disambut Althar dengan senang hati.

“Oke, pulang sekolah gue tunggu di parkiran.” ucap Althar sembari tersenyum. Lalu dengan langkah ringan dan gembira ia berlalu pergi sebelum menyempatkan diri mengusak gemas puncak kepala Resta.

___

Chapter ini pendek banget pliss! 😩

See you next chapter guys!

Althar : The RubicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang