[ 0.5 ]

1.1K 186 25
                                    

Nesya dan Jeno terpaksa kembali ke kelas usai bel pergantian pelajaran. Di dalam kelas, Nesya tidak bisa fokus pada materi yang diajarkan. Nesya kembali tenggelam dalam pikirannya. Waktu seolah berputar kembali ke masa lalu. Nesya merasa sedang menonton film. Latar menunjukkan ruang makan, sebuah keluarga sedang makan malam bersama. Mereka sesekali bergurau, lalu tertawa. Nesya tersenyum, tawa itu adalah melodi terindah yang pernah didengarnya.

"Nesya gimana persiapan ujiannya?"

"Gitu deh Bang, Nesya pusing sama pencerminan bangun datar."

Senyum Nesya masih tak luntur mendengar perbincangan ringan mereka. Nesya ingat, dia mendapat nilai merah saat ulangan matematika materi pencerminan.

"Ayah," panggil Nesya kecil. Sang kepala keluarga menoleh penuh wibawa. "Kenapa Nesya punya dua ibu?"

"Karena Nesya itu cantik," Johnny menjawab pertanyaan adiknya sembari tersenyum tulus dan menatapnya hangat. Mendengar Nesya mendengus, Johnny tertawa. "Boleh Johnny ceritain gak Yah?"

"Ceritain aja Nesya udah gede kok. Tapi nanti aja abis makan malem, ya?" Nesya kecil mengangguk.

Mereka duduk di gazebo yang berada di taman belakang, ditemani kue-kue kecil buatan Ibu. Nesya selalu kagum pada Ibu, Ia sangat jago membuat makanan manis. Nesya juga kagum pada Bunda karena Bunda mahir membuat berbagai macam jenis lauk.

"Setelah Bang John lahir, Ayah waktu itu pulang bawa Bunda," Johnny mulai bercerita. Nesya baru sadar, ada raut sedih yang disembunyikan saat Johnny bercerita. Tapi Nesya kecil malah mengangguk antusias.  "Ayah minta izin Ibu buat nikah sama Bunda. Terus, banyak pertimbangan dari keluarga Ibu sama keluarga Ayah. Akhirnya Ayah nikah sama Bunda. Gak lama, Bang Yuta lahir. Terus kamu deh."

"Ohh gitu ya?" Meski tidak sepenuhnya mengerti, Nesya kecil terus mengangguk. Tak apa, pikirnya. Nanti kalau aku besar aku pasti paham. "Tapi kenapa Ayah mau nikah sama Bunda kalau udah punya Ibu?"

Johnny membeku. Sebenarnya dia sudah yakin Nesya akan menanyakan hal ini. Tapi Ia mendadak kelu. Johnny menghindari tatapan Nesya. Untuk saat ini dan seterusnya, biar dia saja yang tahu kenapa ayah menikah lagi. "Karena Ibu bisanya bikin kue, Bunda bisanya bikin lauk sehari-hari. Ayah suka makan, jadi ayah nikah sama Ibu juga sama Bunda."

Tidak, bukan itu alasannya. Nesya sudah tahu alasan yang sebenarnya. Bunda  hamil sebelum hari pernikahan. Ayah merasa bersalah karena Bunda bukan orang berada, dan kini harus ada mulut tambahan untuk diberi nasi. Belum lagi, cibiran masyarakat. Karena itu, Ayah menikahi Bunda sebagai bentuk tanggung jawabnya. Dan Ibu tidak marah. Tapi Nesya masih belum tahu kenapa Ayah menghamili Bunda, padahal sudah menikah dengan Ibu.

"Nesya Grizelle." Nesya seolah ditarik kembali ke realita. Semua putaran film masa kecilnya hilang berganti dengan wajah anak-anak kelas, juga Pak Harto;  guru matematika minat, yang sedang menatapnya. Nesya menegakkan kepala. "Kamu melamun, benar?" Nesya menggeleng ragu. "Oh, kalau gitu coba kerjain soal di depan."

Nesya mendengus, sudah tahu akhirnya pasti begini. Nesya lemah dalam matematika, belum lagi sedari tadi dia tidak memperhatikan materi yang diajarkan. Nesya melihat soal di papan tulis, soal tentang integral trigonometri. Dia  mendengus lagi.

Jeno menyenggol lengan Nesya dengan sikutnya. Nesya menoleh, lalu Jeno menunjukkan buku tulisnya. Isinya penuh coretan dan angka-angka. Disana, juga ada cara menyelesaikan soal di depan, Jeno pasti tadi mengerjakannya saat Nesya melamun. Nesya menatap wajah Jeno yang sedang tersenyum tipis, matanya tidak membentuk sabit tapi terkesan teduh dan hangat. Pandangan Nesya beralih ke bahu Jeno, tadi pagi Ia menangis disana. Jeno memeluknya dengan hangat. Kemudian, pandangannya beralih lagi ke tangan Jeno, tadi tangan itu mengelus rambutnya, memberikan Nesya ketenangan. Pipi Nesya memanas. Baru saja Jeno akan menanyakan apakah Nesya baik-baik saja atau tidak, salah seorang anak kelas memperingati Nesya.

Azura | Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang