[ 0.8 ]

1K 181 33
                                    

Transjakarta yang mereka tumpangi berhenti tepat di halte yang letaknya tidak jauh dari komplek mereka. Jeno dan Nesya berjalan beriringan menuju rumah Nesya. Sebenarnya, Nesya tadi menolak untuk diantar Jeno sampai ke depan rumahnya. Karena, jarak rumah Jeno dan Nesya–walau masih satu komplek–terbilang jauh. Tetapi, Jeno bersikeras. Lelaki itu tidak berhenti merengek sepanjang jalan. Nesya akhirnya menyerah.

"Udah sana pulang," usir Nesya.

"Gantian, sekarang lo yang anterin gue pulang," ucap Jeno santai.

Rahang Nesya nyaris jatuh tidak percaya. "Kamu bercanda ya?"

Jeno terkekeh. "Emangnya kalau gue gak bercanda, lo mau nganterin?"

"Ya, jelas enggak."

"Yah, kok gitu?"

"Kamu ngapain nganter aku kesini, terus aku nanti nganter kamu ke rumahmu. Terus kamu nganter aku lagi ke rumahku. Gitu terus sampai Kokocrunch udah gak terbuat dari coklat lagi!" cerocos Nesya. Tangganya ikut bergerak ke kanan dan ke kiri saat gadis itu berbicara.

Jeno tertawa, "Biarin. Kan enak, bisa lama-lama sama lo."

"Jen," alis Jeno naik sebelah menanggapi, "Kurang-kurangin deh main sama Jaemin. Dah sana pulang!"

"Kasian tau Jaemin, disalahin mulu."

"Abis kan yang suka gombal dia. Udah sana pulang! Aku udah berapa kali ya ngomong ini?"

"Iya, iya." Jeno mengacak pelan poni Nesya. Kemudian, tertawa melihat bibir gadis itu mengerucut dan tangannya sibuk menata kembali poni miliknya. "Dadah Nesya!" Jeno melambaikan tangan.

Saat Jeno sudah jauh, Nesya baru masuk ke dalam rumahnya. Saat itu, lampu ruang tamu dibiarkan tidak menyala. Sinar mentari masuk melalui celah-celah jendela menciptakan cahaya remang-remang. Nesya masih tidak bergeming melihat bagaimana Johnny dan Ersya berdiri berhadapan, dengan meja tamu sebagai penghalang. Iva berdiri agak jauh di belakang Johnny. Ayumi dan Yuta sedang duduk di sofa. Mereka setengah berbisik, Nesya tidak mendengar jelas apa yang mereka katakan. Sepertinya, mereka tidak menyadari kehadiran Nesya.

Bugh!

Nesya menjerit tertahan. Tangannya digunakan untuk menutup mulutnya yang sudah terbuka. Ersya baru saja memukul Johnny hingga lelaki itu tersungkur. Kepalanya, hampir saja membentur sudut meja. Johnny tidak langsung bangkit. Hari ini, Nesya tidak hanya mendengar. Tetapi, Ia juga menyaksikannya.

"Nesya?" Ersya memanggil namanya lembut dan tegas. Mata Nesya menatap Ersya, bahunya naik turun seiring dengan napasnya yang mulai menderu.

"Ayah kenapa mukul abang!?" Nesya tidak berniat untuk membentak sebenarnya. Hanya saja nada bicaranya meninggi tanpa Ia sadari. Suaranya sepenuhnya bergetar. Ia merasakan tenggorokannya tercekat. Gadis itu berjalan perlahan ke arah Johnny.

Belum sempat Ia sampai, Ersya sudah memberi titah pada Ayumi. Katanya, "Ayumi, bisa tolong bawa Nesya ke kamar? Ajak Yuta sekalian."

Ayumi mengangguk. Nesya menatap pergerakan Ayumi. Ia ingin lari menuju Johnny, tapi entah kenapa Ia tidak bergerak. Kakinya terpaku di bumi. "Ayok Nesya. Biar ayah nyelesaiin masalahnya sendiri," ucap Ayumi lembut dan hangat.  Jelas sekali, Ayumi sedang berusaha menuntun Nesya agar gadis itu tidak menolak.

"Gak mau Bunda!" ucap Nesya dengan Tegas. Ia benar-benar berlari ke arah Johnny, kemudian membantu lelaki itu bangkit. "Dulu, waktu Nesya kecil Bang Johnny sama Bang Yuta yang ngelindungin Nesya! Nesya juga mau ngelindungin Abang." Suaranya bergetar, tapi Ia mencoba tegar.

"Iya," ujar Ersya. "Tapi, gak sekarang sayang."

"Gak mau! Nesya gak mau kenal waktu buat ngelindungin Abang!"

Azura | Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang