( 1.8 )

958 139 9
                                    

"Nesya, gue tunggu di taman belakang."

Itu adalah kalimat terakhir yang gue ucapkan sebelum akhirnya gue mematikan sambungan telepon. Gak lama kemudian, dia datang. Waktu terasa melambat, seolah membiarkan gue buat menatap ciptaan-Nya lebih lama.

Nesya Grizelle. Katanya, nama arti dia itu keajaiban Tuhan. Dan rasanya itu benar. Semua tentang Nesya adalah keajaiban. Bagaimana rambutnya berkibar kala tertiup angin, caranya tersenyum dan melangkah, caranya tertawa, bahkan cara kita bertemu adalah keajaiban.

Lucu rasanya kalau mengingat gimana kita jadi dekat. Di hari yang sama, kita sama-sama nangis dan yang lain menghibur.

Nesya itu hampir gak punya temen di sekolah. Gue sempet kaget kalau ternyata gue sama dia satu SD. Bedanya dia kelas A, gue kelas B. Setelah hari pertemuan pertama kita, untuk pertama kalinya, gue sama dia makan siang bareng di pinggir lapangan.

Saat itu dia bilang, "Jeno, aku suka kalau lagi sama kamu. Mau gak jadi temen aku."

Gue setuju. Setiap harinya, kita jadi lebih dekat. Takdir seolah senang mempertemukan kita. Setelah lulus dari sekolah dasar, gue dan Nesya masuk di SMP dan SMA yang sama. Selama 6 tahun sekolah, gue cuma gak sekelas sama Nesya sekali. Kalau gak salah, itu pas kelas 9 deh.

Ada yang aneh semenjak kenal Nesya. Gue seneng banget liat dia senyum atau ketawa. Gue sakit ngeliat dia sedih. Gue marah sama diri sendiri kalau gue gak disana pas dia sedih. Tiap malam, gue mau tidur biar cepet pagi terus ketemu Nesya lagi.

Setelah lulus SMP, rasa itu semakin menggebu-gebu. Sebuah rasa yang gak gue kenal namanya memporak-porandakan diri gue. Gak cuma hati, tapi juga otak. Akhirnya, gue coba mengenal rasa tersebut.

Tapi, sekuat apapun gue mencoba, gue gak tetep kenal. Akhirnya gue berasumsi, bahwa itu bukan hal besar. Sempat berpikir, mungkin ini yang namanya cinta. Tapi anak baru lulus SMP, tahu apa soal cinta? Lebih-lebih Nesya itu sahabat gue. Rasanya gak mungkin kalau ini cinta.

Ketika gue masuk SMA, gue denger ada anak yang paling cantik satu angkatan, katanya. Gue memutuskan buat liat secantik apa dia. Gak bisa bohong kalau dia, Dira, cantik pakai banget. Saat itu gue langsung bisa tahu kalau gue suka Dira. Gue cinta sama Dira.

Akhirnya, gue bilang ke Nesya kalau gue suka sama Dira. Saat itu, matanya yang teduh mulai berawan kemudian mendung. Gue gak tau dia kenapa, dia gak bilang. Gue gak tau gue kenapa, gue ngerasa sesek. Gue ngerasa bersalah. Seharian gue mikir gue kenapa. Kenapa ada rasa bersalah, risau, dan marah dalam diri gue?

Di hari pertama gue pacaran sama Dira, rasa itu kembali hadir dengan frekuensi yang lebih besar. Rasanya gue mau meluk Nesya terus bilang maaf berkali-kali sampai gue lega. Tapi kenapa? Kenapa gue ngerasa begitu?

Kata orang, sejauh apapun lo melangkah, lo bakal kembali pulang. Gue juga demikian. Sejauh apapun gue pergi sama Dira, di penghujung hari pasti gue kembali ke Nesya. Nesya itu rumah gue.

Waktu itu, Dira marah sama gue. Katanya, dia cemburu sama Nesya. Katanya, gue gak pernah nanya perasaan dia gimana. Katanya, dia sakit. Jeno Azura jadi orang paling brengsek saat itu karena nyakitin perasaan perempuan.

Seperti biasanya, saat mentari sudah mau tidur, Nesya nemenin gue. Hari itu, dia jauh lebih cantik dari biasanya. Hari itu, gaya magnet yang dia keluarkan jauh lebih kuat. Saat itu, untuk pertama kalinya gue meragukan bahwa kalau gue selama ini melihat Nesya sebagai sahabat. Saat bibir kami bertautan.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Azura | Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang