[ 1.4 ]

954 142 26
                                    

Gadis itu menghela napas lega, Ia menyibak rambutnya ke belakang. Matanya menatap layar laptop miliknya bangga. "Selesai juga." Kantung matanya hitam layaknya panda. Ia tidur hanya sekitar 14 jam dalam seminggu. Kakinya terasa pegal, hari ini dia terlalu banyak berdiri.

Tadi siang, Ia mampir ke Gramedia untuk menambah bahan referensi. Gadis itu hanya membaca tanpa membeli. Karena disana tidak boleh duduk di sembarang tempat lagi, Ia terpaksa berdiri cukup lama sembari membaca buku. Uang mingguannya sudah tipis karena hari-hari kemarin membeli terlalu banyak buku.

Perhatiannya teralihkan pada ponselnya yang menyala. Kirana baru saja mengirimkannya pesan singkat. Nesya merasa bahwa Kirana itu gadis yang baik. Mereka cocok di–hampir–seluruh topik pembicaraan. Kirana teman diskusi yang seru. Kali pertama, Nesya punya teman lain yang 'klop' dengannya.

Kirana: hai Nesya, gimana essay kamu?

Nesya: baru aja selesai

Kirana: mau tukeran gak? Biar saling koreksi

Nesya: boleh!

Kirana: send a file

Nesya: send a file

Nesya membuka file yang dikirimkan oleh Kirana. Ia tenggelam dalam bacaannya. Bibirnya ikut bergerak membaca setiap detail kata yang tertulis disana. Topik yang diambil Kirana cukup menarik bagi Nesya. Hanya saja, menurut Nesya, cara menulis Kirana masih sedikit membosankan. Ada beberapa ejaan yang salah juga. Tapi Ia bukan juri, jadi Ia terus membaca. Sesekali berkomentar kecil.

Tenggorokannya terasa kering secara tiba-tiba. Ia melirik gelas yang terletak diatas meja belajarnya. Sudah tidak ada air di dalam sana. Nesya sedikit menggerutu. Gadis itu dengan amat terpaksa bangkit dari duduknya dan berjalan ke luar kamar hendak ke dapur. Tidak lupa, Ia membawa gelasnya.

"BAJINGAN!"

Refleks, Nesya menjatuhkan gelasnya. Membiarkan benda itu menghantam lantai sebelum akhirnya terurai menjadi beberapa bagian. Semua perhatian tertuju padanya.

Beberapa saat yang lalu, Johnny dan Iva baru saja pulang ke rumah. Sedang Ersya dan Ayumi tengah menonton televisi bersama. Yuta juga di ruangan yang sama, fokus pada ponselnya.

"Ayah," panggil Johnny.

Ersya menoleh, sedikit tertawa sarkas. "Kirain gak bakal pulang."

Johnny menoleh sebentar ke arah Iva saat merasakan genggamannya menguat. Beberapa hari ini mereka tidur di rumah milik mereka, letaknya tidak terlalu jauh dari komplek perumahan ini. Johnny membelinya karena tidak tahan melihat ibunya dipukul oleh ayahnya.

Johnny bekerja sepuluh kali lebih kuat karena mulai menyadari bahwa mental Iva semakin sakit. Beliau kadang berteriak keras pada Johnny, memeluknya kemudian menangis. Johnny tahu, ibunya butuh bantuan psikiater. Dan jelas, psikiater itu mahal. Tapi akhirnya, ibunya membaik. Meskipun belum sepenuhnya sembuh. Dan keputusannya bulat, cerai dengan suaminya.

"Ibu mau cerai," ucap Johnny singkat.

Ersya bangkit dari duduknya, menghadap ke arah Johnny dengan tatapan membunuh. "Ngomong apa kamu!"

Johnny maju mendekati Ersya, meyakinkan sang ibu bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Ibu mau cerai, belum jelas juga?" tidak ada keraguan maupun rasa takut dari cara bicaranya.

Satu tamparan mendarat di pipinya, Johnny meringis. "Kok malah nampar? Siapa juga yang tahan diduakan setiap harinya!? Siapa juga yang tahan hidup sama monster kaya ayah? Siapa juga yang tahan ngeliat suaminya manjain jalangnya tiap hari!?"

Azura | Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang