[ 1.9 ]

975 126 0
                                    

Mata Nesya membulat, kemudian mengerjap. Kata-kata Jeno menariknya dari kenyataan, mengajaknya menari di angkasa, kemudian menghempasnya ke bumi, lalu mengajaknya menari lagi di langit, begitu terus hingga Nesya merasa otaknya membeku. Nesya memegang kepalanya yang terasa berat. Sayup-sayup suara Jeno terdengar risau.

Ini terlalu tiba-tiba dan membingungkan. Nesya tidak tahu harus merespon dengan apa. Nesya telah mengharapkan Jeno mengatakan hal itu sejak dulu. Tapi Ia juga sudah mengubur harapan tersebut sejak Jeno berkata bahwa Ia menyukai Dira. Sekarang, Jeno dengan tidak tahu dirinya membongkar kuburan harapannya, memporak-porandakan pikirannya, kembali mengajaknya tidur dalam ekspetasi.

"Kamu bilang kamu gak berani berasumsi bahwa itu cinta, tapi kenapa kamu bisa bilang kalau kamu suka aku?"

"Karena gue gak bisa ngelak lagi, Nes. Dulu, tiap pikiran itu dateng gue selalu bohong ke diri sendiri. Bilang, kalau kita itu temen. Gak mungkin nyimpen rasa. Tapi sekarang, gue gak bisa ngelak lagi."

"Sejak kapan? Sejak kapan kamu mulai ragu kalau kamu cuma liat aku sebagai sahabat? Sejak kapan kamu mulai ngerasa lelah ngehindar dari rasa yang kamu punya?"

"Nesya, pelan-pelan. Maaf Nes, gue beneran gak tau dari kapan."

"Aku pelarian ya, Jen?"

Jeno refleks menggeleng cepat. Nesya salah tangkap, jelas saja. "Nesya, gue gak bisa jawab sejak kapan gue mulai ragu, atau sejak kapan mulai lelah menghindar, atau sejak kapan mulai mau mengakui bahwa gue suka sama lo. Tapi gue tau sejak kapan gue mulai gak bisa mendeskripsikan rasa gue. Gak inget persis, sih. Cuma gue yakin banget, pas itu gue masih SMP."

Nesya tidak langsung merespon perkataan Jeno. Gadis itu diam beberapa saat, lalu matanya mengerjap. Nesya menoleh ke arah lain, menghindari tatapan Jeno. Seolah enggan jatuh lebih dalam lagi pada lelaki itu. "Jeno, aku mau sendiri."

Jeno menurut, Ia menepuk pelan puncak kepala Nesya. "Cepet sembuh, ya." Lelaki itu perlahan berjalan keluar. Ada perasaan menyesal karena telah mengatakan semuanya pada Nesya. Tapi juga ada perasaan lega. Semua pertanyaannya selama ini terjawab.

Hal yang pertama kali Jeno lihat setelah keluar dari UKS adalah Jisung. Tanpa sadar, Jeno memandang Jisung intens dan menusuk. Ia menyapu seluruh badan Jisung dari bawah ke atas, lalu atas ke bawah. Hingga Jisung jadi risih sendiri. "ngapain sih?"

Tadi, saat di kantin, Jeno cemburu bukan kepalang saat Jisung tiba-tiba menggendong Nesya. Benaknya mengajaknya mengingat ke saat waktu itu. Saat hubungannya dan Nesya sedang renggang, lelaki ini dengan sengaja masuk ke dalam celah. Mencoba mengisi posisi Jeno, kemudian melampaui batasnya. Jisung dengan tidak tahu dirinya mengajak Nesya berkencan. Sisi lain dari Jeno tertawa sinis. Tapi raganya tidak berekspresi. "Gak apa-apa."

Jeno tahu kok, ini bukan saat yang tepat untuk menyatakan perasaannya. Dia baru saja membuat kehebohan di kantin dan Nesya adalah korbannya. Tapi bagaimana lagi? Siapa yang bisa jamin bahwa tidak akan ada orang lain lagi diantara mereka? Lagi pula, siapa yang mau terus hidup dalam kebohongan yang diciptakan sendiri?

"Dira!" Jeno ikut menoleh ke arah sumber suara. Sekilas, Ia melirik Dira, gadis itu tersenyum. Lelaki itu setengah berlari dari arah kantin menuju Dira. Saat telah sampai di hadapan Dira, Ia malah berbicara dengan Jeno.

"Jen, tadi gua jajan di atas 20 ribu, makasih ya traktirannya."

"Tai, gak tau diri lo." Jeno mendorong pelan bahu lelaki itu. Ia hanya menunjukkan cengiran khasnya.

"Dira, mau konfirm aja nih, nanti kita jadi kan?"

"Jadi, Felix. Gak sabar ya lo jalan sama gue?"

Azura | Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang