"Ini bukan akhir dari segalanya."Suara iringan langkah sepatu kuda terdengar jelas di indera pendengaranku. Aroma dedaunan keluar masuk seiring aku bernafas. Sudah sangat lama aku tidak setenang ini, maksudku setelah kejadian yang mengerikan itu.
Tunggu, kenapa aku merasa baik-baik saja? Jangan-jangan aku bermimpi kembali? Atau aku sudah berada di surga?
Hutan rimba menyambutku. Aku tak tahu mengapa aku berada di sini namun melihat segi keindahannya aku terlalu takjub hingga aku sulit berkata-kata.
Ke banyakan pohon disini menjulang tinggi tidak seperti sebuah pohon yang berdiri kokoh di hadapanku. Itu membuat perhatianku tertuju hingga bertanya-tanya:
"bagaimana ia bisa bertahan selama itu padahal ke banyakan dari pohon yang lainnya sudah mengering?"
Tiba-tiba dari celah dedaunan, sinar matahari berhasil masuk menyilaukan penglihatanku. Bahkan walau aku sudah coba menutupinya dengan kedua tanganku, tetap saja ia bisa masuk melalui celah manapun hingga aku memejamkan kedua mataku. "Kau tidak bisa masuk matahari!" Gumamku puas.
Aku masih bisa ingat aku tertawa puas disana.
Hingga pada saat aku membuka kedua kelopak mataku kembali, aku menemukan sebuah tangan indah yang menempel pada buku jariku. Cincin hijau Marmel yang sangat familiar itu sepintas menyilaukan. Aku merasa lelah, aku ingin kembali tertidur dan mencoba sedikit menggeser tubuhku namun hal tersebut malah membuat pria di belakangku mengerang.
Tunggu, seorang pria? Dimana lagi aku sekarang?
Ingin rasanya aku bereaksi lebih saat ini. Namun respon tubuhku malah sebaliknya. Aku merasakan tubuhku begitu lelah hingga aku berbalik perlahan. Dan seperti yang kuduga, aku menemukan Harry yang tengah tertidur pulas di belakangku.
Apakah aku masih hidup?
Kedua mata indah itu tertutup, dengkuran nafas yang seirama berjalan secara teratur, bibir merah muda yang mengatup, oh syukurlah ia baik-baik saja.
Jari-jariku menyisir wajahnya, "aku benar-benar mencintainya." Dan tiba-tiba entah dorongan darimana aku mengalungkan tanganku di lehernya.
Entah mengapa aku merasa bahagia saat melakukan itu?
Tapi sebenarnya apa yang telah terjadi? Kenapa aku bisa selamat? Apakah Harry baik-baik saja?
Oh syukurlah.
Tiba-tiba kelopak mata Harry terbuka. Seketika aku merasakan jantungku berhenti berdetak dan darahku berdesir ketika mata itu menatapku. Aku tahu ini kelihatannya memang aneh, namun aku langsung buru-buru mengangkat kedua lenganku sebelum akhirnya ia mencegah, membiarkan lenganku tetap berada di antara lehernya.
"Apakah kau baik-baik saja?" Tanyanya dengan suara begitu serak.
"Em.. ya. Kurasa ya." Jawabku dengan pelan.
"Kau demam?" Kini suara serak itu benar-benar membuatku semakin gugup di tambah tangannya yang dingin menyentuh pipiku.
"Kenapa kau berkata seperti itu?"
Tangan Harry bergerak, mengelus pipiku. "Wajahmu merah." Oh tidak.
"A-ku baik-baik saja." Kataku sambil tertunduk malu.
Harry menatapku dalam, tangannya menangkup wajahku agar aku melihat ke arahnya. "Aku benar-benar khawatir. Kau telah tidur selama tiga hari— ku pikir. Tidak. Intinya kau selamat."
"Ti-tiga hari? Apakah kau serius?"
Tiba-tiba Harry menabrak bibirku. Ia melumat bibirku pelan, hangat, dan aku melakukan hal sebaliknya. Rasa mint dari mulutnya terasa di lidahku dan aku merindukan momen ini dimana akhirnya aku bisa tidur bersama Harry kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Without A Name [EDIT]
Jugendliteraturif you feel alone in the dark and look for someone who loves you Im harry, will be by your side [Pure inspiration] © 2018 by itscaptainrogers Cover by Itscaptainrogers